BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Otitis
media sebenarnya radang telinga tengah. Nama keren ini berasal dari kata oto
yang artinya telinga, itis berarti radang, dan media yang menunjukkan bagian
tengah. Jadi, otitis media itu peradangan sebagian atau seluruh telinga tengah.
Telinga
dibagi atas tiga bagian, yakni telinga luar, tengah, dan dalam. Telinga luar
meliputi daun telinga sampai membran timpani atau gendang telinga, yang menjadi
pembatas antara dunia luar dengan rongga telinga tengah. Rongga telinga ini
juga menjadi muara tuba eustachius, saluran yang menghubungkan daerah
nasofaring di rongga mulut dengan rongga telinga. Tuba eustachius memiliki
peranan cukup penting. Selain sebagai ventilasi agar tekanan di rongga telinga
sama dengan tekanan udara luar,
saluran ini juga merupakan penghalang masuknya
kuman dari nasofaring ke telinga tengah. Secara normal tuba dalam keadaan
tertutup. Kalau telinga tengah perlu oksigen, ketika mengunyah, menelan, atau
menguap, saluran ini baru terbuka. Di telinga tengah juga terdapat tiga tulang
pendengaran yang saling bersambungan dan menghubungkan gendang telinga dan
rumah siput (koklea) di telinga dalam. Rumah siput merupakan tujuan akhir
getaran suara sebelum diteruskan melalui saraf pendengaran dan keseimbangan ke
otak.Telinga tengah biasanya steril. Di dalam tuba eustachius ada mekanisme pertahanan untuk mencegah masuknya mikroba dari rongga mulut ke rongga telinga. Namun, dalam kondisi tertentu, ketika pertahanan terganggu, infeksi di telinga tengah bisa terjadi. Kuman masuk ke telinga tengah seolah tanpa perlawanan. Kuman inilah yang menimbulkan otitis media.
Maka dari
uraian di atas, penulis mencoba mengangkat masalah tentang Otitis
media akut, serosa dan kronik.
1.2. Tujuan
1.2.1. Tujuan Umum
Untuk mempelajari tentang asuhan keperawatan pada klien
dengan Otitis media akut, kronik, dan serosa.
1.2.2. Tujuan Khusus
1.
Mengetahui
konsep dasar teoritis otitis media akut, kronik dan serosa.
2.
Untuk
mengetahui konsep dasar asuhan keperawatan pada klien dengan otitis media akut,
kronik dan serosa yang meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, dan
intervensi.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1. ANATOMI TELINGA TENGAH
Telinga tengah terdiri dari :
1. Membran timpani.
2. Kavum timpani.
3. Prosesus mastoideus.
4. Tuba eustachius
2.1.1. Membran
Timpani
Membran timpani dibentuk dari dinding lateral
kavum timpani dan memisahkan liang telinga luar dari kavum timpani. Membrana
ini panjang vertikal rata-rata 9-10 mm dan diameter antero-posterior kira -kira
8-9 mm, ketebalannya rata-rata 0,1 mm .
Letak membrana timpani tidak tegak lurus
terhadap liang telinga akan tetapi miring yang arahnya dari belakang luar
kemuka dalam dan membuat sudut 450 dari dataran sagital dan horizontal.
Membrana timpani merupakan kerucut, dimana bagian puncak dari kerucut menonjol
kearah kavum timpani, puncak ini dinamakan umbo. Dari umbo kemuka bawah tampak
refleks cahaya ( none of ligt)13.
Membran timpani mempunyai tiga lapisan yaitu :
- Stratum kutaneum ( lapisan epitel) berasal dari liang telinga.
- Stratum mukosum (lapisan mukosa) berasal dari kavum timpani.
- Stratum fibrosum ( lapisan propria) yang letaknya antara stratum kutaneum dan mukosum.
Lamina propria yang terdiri dari dua lapisan
anyaman penyabung elastis yaitu:
- Bagian dalam sirkuler.
- Bagian luar radier .
Secara Anatomis membrana timpani dibagi dalam 2
bagian :
1. Pars tensa
Merupakan bagian terbesar dari membran timpani
suatu permukaan yang
tegang dan bergetar sekeliling menebal dan
melekat pada anulus fibrosus
pada sulkus timpanikus bagian tulang dari
tulang temporal.
2. Pars flasida atau membran Shrapnell,
letaknya dibagian atas muka dan
lebih tipis dari pars tensa dan pars flasida
dibatasi oleh 2 lipatan yaitu :
- Plika maleolaris anterior ( lipatan muka).
- Plika maleolaris posterior ( lipatan belakang).
Membran timpani terletak dalam salura n yang
dibentuk oleh tulang dinamakan sulkus timpanikus. Akan tetapi bagian atas muka
tidak terdapat sulkus ini dan bagian ini disebut insisura timpanika ( Rivini)13.
Permukaan luar dari membrana timpani disarafi
oleh cabang n. Aurikulo temporalis dari nervus mandibula dan nervus vagus.
Permukaan dalam disarafi oleh n. timpani cabang dari nervus glosofaringeal.
Aliran darah membrana timpani berasal dari permukaan luar dan dalam. Pembuluh-pembuluh
epidermal berasal dari aurikula yang dalam cabang dari arteri maksilaris
interna. Permukaan mukosa telinga tengah didarahi oleh timpani anterior cabang
dari arteri maksilaris interna dan oleh stylomastoid cabang dari arteri
aurikula posterior13.
2.1.2. Kavum
Timpani
Kavum timpani terletak didalam pars petrosa
dari tulang temporal, bentuknya bikonkaf, atau seperti kotak korek api.
Diameter anteroposterior atau vertikal 15 mm, sedangkan diameter transversal
2-6 mm. Kavum timpani mempunyai 6 dinding yaitu: bagian atap, lantai, dinding
lateral, dinding medial, dinding anterior, d inding posterior.
1. Atap kavum timpani.
Dibentuk oleh lempengan tulang yang tipis
disebut tegmen timpani. Tegmen timpani memisahkan telinga tengah dari fosa
kranial dan lobus temporalis dari otak.
Bagian ini juga dibentuk oleh pars petrosa
tulang temporal dan sebagian lagi oleh skuama dan garis sutura petroskuama.
Dinding ini hanya dibatasi oleh tulang yang tipis atau ada kalanya tidak ada
tulang sama sekali ( dehisensi). Pada anak-anak, penulangan dari sutura
petroskuamosa belum terbentuk pada daerah tegmen timpani, sehingga memungkinkan
terjadinya penyebaran infeksi dari kavum timpani ke meningen dari fosa kranial
media. Pada orang dewasa bahkan vena-vena dari telinga tengah menembus sutura
ini dan berakhir pada sinus petroskuamosa dan sinus petrosal superior dimana
hal ini dapat menyebabkan penyebaran infeksi dari telinga tengah secara
langsung ke sinus-sinus venosus kranial.
2. Lantai kavum timpani
Dibentuk oleh tulang yang tipis memisahkan
lantai kavum timpani dari bulbus jugularis, atau tidak ada tulang sama sekali
hingga infeksi dari kavum timpani mudah merembet ke bulbus vena jugularis.
3. Dinding medial.
Dinding medial ini memisahkan kavum timpani
dari telinga dalam, ini juga merupakan dinding lateral dari telinga dalam.
Dinding ini pada mesotimpanum menonjol kearah kavum timpani, yang disebut
promontorium Tonjolan ini oleh karena didalamnya terdapat koklea. Didalam
promontorium terdapat beberapa saluran-saluran yang berisi saraf-saraf yang
membentuk pleksus timpanikus.
Dibelakang dan atas promontorium terdapat
fenestra vestibuli atau foramen ovale (oval windows), bentuknya seperti ginjal
dan berhubungan pada kavum timpani dengan vestibulum, dan ditutupi oleh telapak
kaki stapes dan diperkuat oleh ligamentum anularis. Foramen ovale berukuran
3,25 mm x 1,75 mm. Diatas fenestra
vestibuli, sebagai tempat jalannya nervus
fasialis. Kanalis ini didalam kavum timpani
tipis sekali atau tidak ada tulang sama sekali
( dehisensi).
Fenestra koklea atau foramen rotundum ( round
windows), ditutupi oleh suatu membran yang tipis yaitu membran timpani
sekunder, terletak dibelakang bawah. Foramen rotundum ini berukuran 1,5 mm x
1,3 mm pada bagian anterior dan posterior 1,6 mm.
Kedua lekukan dari foramen ovale dan rotundum
berhubungan satu sama lain pada batas posterior mesotimpanum melalui suatu fosa
yang dalam yaitu sinus timpanikus. Suatu ruang secara klinis sangat penting
ialah sinus posterior atau resesus fasial yang didapat disebelah lateral
kanalis fasial dan prosesus piramidal. Dibatasi sebelah lateral oleh anulus
timpanikus posterosuperior, sebelah superior
oleh prosesus brevis inkus yang melekat kefosa
inkudis. Lebar resesus fasialis 4,01 mm dan tidak bertambah semenjak lahir.
Resesus fasialis penting karena sebagai pembatas antara kavum timpani dengan
kavum mastoid sehingga bila aditus antrum tertutup karena suatu sebab maka
resesus fasialis bisa dibuka untuk menghubungkan kavum timpani dengan kavum
mastoid.
4. Dinding posterior
Dinding posterior dekat keatap, mempunyai satu
saluran disebut aditus, yang menghubungkan kavum timpani dengan atrum mastoid
melalui epitimpanum.
Dibawah aditus terdapat lekukan kecil yang
disebut fosa inkudis yang merupakan suatu tempat prosesus brevis dari inkus dan
melekat pada serat-serat ligamen.
Dibawah fosa inkudis dan dimedial dari korda
timpani adalah piramid, tempat terdapatnya tendon muskulus stapedius, tendon
yang berjalan keatas dan masuk kedalam stapes. Diantara piramid dan anulus
timpanikus adalah resesus fasialis.
Dibelakang dinding posterior kavum timpani
adalah fosa kranii posterior dan sinus sigmoid.
Disebelah dalam dari piramid dan nervus
fasialis merupakan perluasan kearah posterior dari mesotimpani adalah sinus
timpani. Perluasan sel-sel udara kearah dinding posterior dapat meluas seperti
yang dilaporkan Anson dan Donaldson
(1981), bahwa apabila diukur dari ujung
piramid, sinus dapat meluas sepanjang 9 mm kearah tulang mastoid. Dinding
medial dari sinus timpani kemudian berlanjut ke bagian posterior dari dinding
medial kavum timpani dimana berhubungan dengan dua fenestra dan promontorium.
5. Dinding anterior
Dinding anterior kavum timpani agak sempit
tempat bertemunya dinding
medial dan dinding lateral kavum timpani.
Dinding anterior bawah adalah lebih besar
dari bagian atas dan terdiri dari lempeng
tulang yang tipis menutupi arteri karotis
pada saat memasuki tulang tengkorak dan sebelum
berbelok ke anterior.
Dinding ini ditembus oleh saraf timpani karotis
superior dan inferior yang membawa serabut-serabut saraf simpatis kepleksus
timpanikus dan oleh satu atau lebih cabang timpani dari arteri karotis
interna1.
Dinding anterior ini terutama berperan sebagai
muara tuba eustachius. Tuba
ini berhubungan dengan nasofaring dan mempunyai
dua fungsi. Pertama menyeimbangkan tekanan membran timpani pada sisi sebelah
dalam, kedua sebagai drainase sekresi dari telinga tengah, termasuk sel-sel
udara mastoid. Diatas tuba terdapat sebeuah saluran yang berisi otot tensor
timpani. Dibawah tuba, dinding anterior biasanya tipis dimana ini merupakan
dinding posterior dari saluran karotis.
6. Dinding
lateral
Dinding lateral kavum timpani adalah bagian
tulang dan membran. Bagian tulang berada diatas dan bawah membran timpani.
Kavum timpani dibagi menjadi 3 bagian yaitu :
a. Epitimpanum.
Berada dibagian atas membran timpani. Merupakan
bagian superior kavum timpani, disebut juga atik karena terletak diatas membran
timpani. sebagian besar atik diisi oleh maleus inkus. Dibagian superior
epitimpanum dibatasi oleh suatu penonjolan tipis os posterior. Dinding medial
atik dibentuk oleh kapsul atik yang ditandai oleh penonjolan kanalis
semisirkularis lateral. Pada bagian anterior terdapat ampula kanalis superior,
dan lebih anterior ada ganglion genikulatum, yang merupakan tanda ujung
anterior ruang atik. Dinding anterior terpisah dari maleus oleh suatu ruang
yang sempit, disini dapat dijumpai muara sel-sel udara yang membuat
pneumatisasi pangkal tulang pipi (zygoma). Dinding lateral atik dibentuk oleh
os skuama yang berlanjut kearah lateral sebagai dinding liang telinga luar
bagian tulang sebelah atas. Diposterior, atik menyempit menjadi jalan masuk ke
antrum mastoid, yaitu aditus ad antrum.
b. Mesotimpanum
Terletak kearah medial dari membran timpani.
Disebelah medial dibatasi oleh kapsul otik, yang terletaknya lebih rendah dari
pada nervus fasialis pars timpani. Dinding anterior mesotimpani terdapat
orifisium timpani tuba eustachius pada bagian superior dan membentuk bagian
tulang dinding saluran karotis asendens pada bagian inferior. Dinding ini
biasanya mengalami pneumatisasi yang baik dan dapat dijumpai bagian bagian
tulang lemah.
c. Hipotimpanum atau resesus hipotimpanikus
Terletak dibawah membrana timpani, berhubungan
dengan bulbos jugulare.
Kavum timpani terdiri dari :
1. Tulang-tulang pendengaran ( maleus, inkus,
stapes).
2. Dua otot.
3. Saraf korda timpani.
4. Saraf pleksus timpanikus.
Tulang-tulang pendengaran terdiri dari :
1. Malleus ( hammer / martil).
2. Inkus ( anvil/landasan)
3. Stapes ( stirrup / pelana)
Malleus
Malleus adalah tulang yang paling besar
diantara semua tulang-tulang pendengaran dan terletak paling lateral, lehe r,
prosesus brevis (lateral), prosesus anterior, lengan (manubrium). panjangnya
kira-kira 7,5 sampai 9,0 mm. kepala terletak pada epitimpanum atau didalam
rongga atik, sedangkan leher terletak dibelakang pars flaksida membran timpani.
Manubrium terdapat didalam membran timpani, bertindak sebagai tempat perlekatan
serabut-serabut tunika propria. Ruang antara kepala dari maleus dan membran
Shrapnell dinamakan Ruang Prussak. Maleus ditahan oleh ligamentum maleus
anterior yang melekat ke tegmen dan juga oleh ligamentum lateral yang terdapat
diantara basis prosesus brevis dan pinggir lekuk Rivinus.
Inkus
Inkus terdiri dari badan inkus ( corpus) dan 2
kaki yaitu : prosesus brevis dan prosesus longus. Sudut antara prosesus brevis
dan longus membentuk sudut lebih kurang 100 derajat. Inkus berukuran 4,8 mm x
5,5 mm pada pinggir dari corpus, prosesus longus panjangnya 4,3 mm-5,5 mm.
Inkus terletak pada epitimpanum, dimana
prosesus brevis menuju antrum, prosesus longus jalannya sejajar dengan
manubrium dan menuju ke bawah. Ujung prosesus longus membengkok kemedial
merupakan suatu prosesus yaitu prosesus lentikularis. Prosesus ini berhubungan
dengan kepala dari stapes.
Maleus dan inkus bekerja sebagai satu unit,
memberikan respon rotasi terhadap gerakan membran timpani melalui suatu aksis
yang merupakan suatu garis antara ligamentum maleus anterior dan ligamentum
inkus pada ujung prosesus brevis.
Gerakan-gerakan tersebut tetap dipelihara
berkesinambungan oleh inkudomaleus. Gerakan rotasi tersebut diubah menjadi
gerakan seperti piston pada stapes melalui sendi inkudostapedius.
Stapes
Merupakan tulang pendengaran yang teringan,
bentuknya seperti sanggurdi beratnya hanya 2,5 mg, tingginya 4mm-4,5 mm. Stapes
terdiri dari kepala, leher, krura anterior dan posterior dan telapak kaki (
foot plate), yang melekat pada foramen ovale dengan perantara ligamentum
anulare.
Tendon stapedius berinsersi pada suatu penonjolan
kecil pada permukaan posterior dari leher stapes. Kedua krura terdapat pada
bagian leher bawah yang lebar dan krura anterior lebih tipis dan kurang
melengkung dari pada posterior.
Kedua berhubungan dengan foot plate yang
biasanya mempunyai tepi superior yang
melengkung, hampir lurus pada tepi posterior
dan melengkung di anterior dan ujung posterior. panjang foot plat e 3 mm dan
lebarnya 1,4 mm, dan terletak pada menestra vestibuli dimana ini melekat pada
tepi tulang dari kapsul labirin oleh ligamentum anulare Tinggi stapes kira-kira
3,25 mm
Otot-otot pada
kavum timpani.
Terdiri dari : otot tensor timpani ( muskulus
tensor timpani) dan otot stapedius
( muskulus stapedius)
Otot tensor timpani adalah otot kecil panjang
yang berada 12 mm diatas tuba
eustachius. Otot ini melekat pada dinding
semikanal tensor timpani. Kanal ini terletak diatas liang telinga bagian tulang
dan terbuka kearah liang telinga sehingga disebut semikanal. Serabut -serabut
otot bergabung dan menjadi tendon pada ujung timpanisemikanal yang ditandai
oleh prosesus kohleoform. Prosesus ini membuat tendon tersebut membelok kearah
lateral kedalam telinga tengah. Tendon berinsersi pada bagian atas leher
maleus. Muskulus tensor timpani disarafi oleh cabang saraf kranial ke 5. kerja
otot ini menyebabkan membran timpani tertarik kearah dalam sehingga menjadi
lebih tegang dan meningkatkan frekuensi resonansi sistem penghantar suara serta
melemahkan suara dengan freksuensi rendah.
Otot stapedius adalah otot yang relatif pendek.
Bermula dari dalam kanalnya
didalam eminensia piramid, serabut ototnya
melekat ke perios kanal tersebut.
Serabut-serabutnya bergabung membentuk tendon
stapedius yang berinsersi pada apek posterior leher stapes. M. Stapedius
disarafi oleh salah satu cabang saraf kranial ke 7 yang timbul ketika saraf
tersebut melewati m. stapedius tersebut pada perputarannya yang kedua. Kerja
m.stapedius me narik stapes ke posterior mengelilingi suatu pasak pada tepi
posterior basis stapes. Keadaan ini stapes kaku, memperlemah transmisi suara
dan meningkatkan frekuensi resonansi tulang-tulang pendengaran
Saraf Korda
timpani
Merupakan cabang dari nervus fasialis masuk ke
kavum timpani dari kanalikulus posterior yang menghubungkan dinding lateral dan
posterior. Korda timpani memasuki telinga tengah bawah pinggir posterosuperior
sulkus timpani dan berjalan keatas depan lateral keprosesus longus dari inkus
dan kemudian ke bagian bawah leher maleus tepatnya diperlekatan tendon tensor
timpani. Setelah berjalan kearah medial menuju ligamentum maleus anterior,
saraf ini keluar melalui fisura petrotimpani.
Korda timpani juga mengandung jaringan sekresi
parasimpatetik yang
berhubungan dengan kelenjar ludah sublingual
dan submandibula melalui ganglion
submandibular. Korda timpani memberikan serabut
perasa pada 2/3 depan lidah
bagian anterior.
Pleksus
timpanikus
Adalah berasal dari n. timpani cabang dari
nervus glosofaringeus dan dengan
nervus karotikotimpani yang berasal dari
pleksus simpatetik disekitar arteri karotis
interna. Saraf dari pleksus ini dan kemudian
berlanjut pada :
- Cabang-cabang pada membrana mukosa yamg melapisi kavum timpani, tuba
eustachius, antrum mastiod dan sel-sel mastoid.
- Sebuah cabang yang berhubungan dengan nervus petrosus superfisial mayor.
- Pada nervus petrosus superfisial minor, yang mengandung serabut-serabut parasimpatis dari N. IX. Saraf ini meninggalkan telinga tengah melalui suatu saluran yang kecil dibawah m. tensor timpani kemudian menerima serabut saraf parasimpatik dari N. VII dengan melalui cabang dari ganglion genikulatum. Secara sempurna saraf berjalan melalui tulang temporal, dilateral sampai nervus petrosus superfisial mayor, diatas dasar fosa kranial media, diluar durameter. Kemudian berjalan melalui foramen ovale dengan nervus mandibula dan arteri meningeal assesori sampai ganglion otik. Kadang-kadang saraf ini tidak berjalan pada foramen ovale tetapi melalui foramen yang kecil sampai foramen spinosum.
Serabut post ganglion dari ganglion otik
menyuplai serabut-serabut sekremotor pada kelenjar parotis melalui nervus aurikulotemporalis.
Saraf fasial
Meninggalkan fosa kranii posterior dan memasuki
tulang temporal melalui meatus akustikus internus bersamaan dengan N. VIII.
Saraf fasial terutama terdiri dari dua komponen yang berbeda, yaitu :
- Saraf motorik untuk otot-otot yang berasal dari lengkung brankial kedua(faringeal) yaitu otot ekspresi wajah, stilohioid, posterior belly m. Digastrik dan m. stapedius.
- Saraf intermedius yang terdiri dari saraf sensori dan sekretomotor parasimpatetis preganglionik yang menuju ke semua glandula wajah kecuali parotis.
Saraf kranial VII mencapai dinding medial kavum
timpani melalui auditori meatus diatas vestibula labirin tulang. Kemudian
membelok kearah posterior dalam tulang diatas feromen ovale terus ke dinding
posterior kavum timpani. Belokan kedua terjadi dinding posterior mengarah ke
tulang petrosa melewati kanal fasial keluar dari dasar tengkorak melewati
foramen stilomastoidea. Pada belokan pertama di dinding medial dari kavum
timpani terdapat ganglion genikulatum, yang mengandung sel unipolar palsu. Sel
ini adalah bagian dari jaringan perasa dari 2/3 lidah dan palatum. Saraf
petrosa superfisial yang besar bercabang dari saraf kranial VII pada ganglion
genikulatum, masuk ke dinding anterior kavum timpani, terus ke fosa kranial tengah.
Saraf ini mengandung jaringan perasa dari palatum dan jaringan sekremotor dari
glandula atap rongga mulut, kavum nasi dan orbita. Bagian lain dari saraf
kranial VII membentuk percabangan motor ke otot stapedius dan korda timpani.
Korda timpani keluar ke fosa intra temporal melalui handle malleus, bergerak
secara vertikal ke inkus dan terus ke fisura petrotimpanik. Korda timpani
mengandung jaringan perasa dari 2/3 anterior lidah dan jaringan sekretorimotor
dari ganglion submandibula. Sel jaringan perasanya terdapat di ganglion
genikulatum.
2.1.3. Prosesus
Mastoideus
Rongga mastoid berbentuk seperti bersisi tiga
dengan puncak mengarah ke kaudal. Atap mastoid adalah fosa kranii media.
Dinding medial adalah dinding lateral
fosa kranii posterior. Sinus sigmoid terletak
dibawah duramater pada daerah ini. Pada dinding anterior mastoid terdapat
aditus ad antrum.
Aditus antrum mastoid adalah suatu pintu yang
besar iregular berasal dari epitisssmpanum posterior menuju rongga antrum yang
berisi udara, sering disebut sebagai aditus ad antrum. Dinding medial merupakan
penonjolan dari kanalis semisirkularis lateral. Dibawah dan sedikit ke medial
dari promontorium terdapat kanalis bagian tulang dari n. fasialis. Prosesus
brevis inkus sangat berdekatan dengan kedua struktur ini dan jarak rata-rata
diantara organ : n. VII ke kanalis semisirkularis 1,77 mm; n.VII ke prosesus
brevis inkus 2,36 mm : dan prosesus brevis inkus ke kanalis semisirkularis 1,25
mm.
Antrum mastoid adalah sinus yang berisi udara
didalam pars petrosa tulangtemporal. Berhubungan dengan telinga tengah melalui
aditus dan mempunyai sel-sel udara mastoid yang berasal dari
dinding-dindingnya. Antrum sudah berkembang baik pada saat lahir dan pada
dewasa mempunyai volume 1 ml, panjang dari depan kebelakang sekitar 14 mm,
daria atas kebawah 9mm dan dari sisi lateral ke medial 7 mm. Dinding medial
dari antrum berhubungan dengan kanalis semisirkularis posterior dan lebih ke
dalam dan inferiornya terletak sakus endolimfatikus dan dura dari fosa kranii
posterior. Atapnya membentuk bagian dati lantai fosa kranii media dan
memisahkan antrum dengan otak lobus temporalis. Dinding posterior terutama
dibentuk oleh tulang yang menutupi sinus. Dinding lateral merupakan bagian dari
pars skumosa tulang temporal dan meningkat ketebalannya selama hidup dari
sekitar 2 mm pada saat lahir hingga 12-15 mm pada dewasa. Dinding lateral pada
orang dewasa berhubungan dengan trigonum suprameatal ( Macewen’s) pada
permukaan luar tengkorak. Lantai antrum mastoid berhubungan dengan otot digastrik
dilateral dan sinus sigmoid di medial, meskipun pada aerasi tulang mastoid yang
jelek, struktur ini bisa berjarak 1 cm dari dinding antrum inferior. Dinding
anterior antrum memiliki aditus pada bagian atas, sedangkan bagian bawah
dilalui n.fasialis dalam perjalanan menuju ke foramen stilomastoid.
Prosesus mastoid sangat penting untuk sistem
pneumatisasi telinga. Pneumatisasi didefinisikan sebagai suatu proses
pembentukan atau perkembangan rongga-rongga udara didalam tulang temporal, dan
sel-sel udara yang terdapat didalam mastoid adalah sebagian dari sistem
pneumatisasi yang meliputi banyak bagian dari tulang temporal. Sel-sel prosesus
mastoid yang mengandung udara berhubungan dengan udara didalam telinga tengah.
Bila prosesus mastoid tetap berisi tulang-tulang kompakta dikatakan sebagai
pneumatisasi jelek dan sel-sel yang berpneumatisasi terbatas pada daerah
sekitar antrum. Prosesus mastoid berkembang setelah lahir sebagai tuberositas
kecil yang berpneumatisasi secara sinkron dengan pertumbuhan antrum mastoid.
Pada tahun pertama kehidupan prosesus ini terdiri dari tulang-tulang seperti
spon sehingga mastoiditis murni tidak dapat terjadi. Diantara usia 2 dan 5
tahun pada saat terjad i pneumatisasi prosesus terdiri atas campuran
tulang-tulang spon dan pneumatik.
Pneumatisasi sempurna terjadi antara usia 6 –
12 tahun. Luasnyapneumatisasi tergantung faktor herediter konstitusional dan
faktor peradangan pada waktu umur muda. Bila ada sifat biologis mukosa tidak
baik maka daya pneumatisasi hilang atau kurang. Ini juga terjadi bila ada
radang pada telinga yang tidak menyembuh. Maka nanti dapat dilihat pneumatisasi
yang terhenti (pneumatisationshemung arrested pneumatisation) atau pneumatisasi
yang tidak ada sama sekali (teori dari Wittmack).
Menurut derajatnya, pneumatisasi prosesus
mastoideus ini dapat dibagi atas :
1. Proesesus Mastoideus Kompakta ( sklerotik),
diomana tidak ditemui sel-sel.
2. Prosesus Mastoideus Spongiosa, dimana
terdapat sel-sel kecil saja.
3. Prosesus Mastoideus dengan pneumatisasi yang
luas, dimana sel-sel disini besar.
Sellulae mastoideus seluruhnya berhubungan
dengan kavum timpani. Dekat antrum sel-selnya kecil tambah keperifer sel-selnya
bertambah besar. Oleh karena itu bila ada radang pada sel-sel mastoid, drainase
tidak begitu baik hingga mudah terjadi radang pada mastoid (mastoiditis)13.
Menurut tempatnya sel-sel ini dapat dibedakan :
1. Terminal
2. Perisinus
3. Sudut petrosal
4. Sub dural
5. Zigomatik
6. Facial
7. Periantral
8. Perilabirinter
2.1.4. Tuba Eustachius
Tuba eustachius disebut juga tuba auditory atau
tuba faringotimpani. bentuknya seperti huruf S. Tuba ini merupakan saluran yang
menghubungkan kavum timpani dengan nasofaring. Pada orang dewasa panjang tuba
sekitar 36 mm berjalan ke bawah, depan dan medial dari telinga tengah 13 dan
pada anak dibawah 9 bulan adalah 17,5 mm13.
Tuba terdiri dari 2 bagian yaitu :
- Bagian tulang terdapat pada bagian belakang dan pendek (1/3 bagian).
- Bagian tulang rawan terdapat pada bagian depan dan panjang (2/3 bagian). Bagian tulang sebelah lateral berasal dari dinding depan kavum timpani, dan bagian tulang rawan medial masuk ke nasofaring. Bagian tulang rawan ini berjalan kearah posterior, superior dan medial sepanjang 2/3 bagian keseluruhan panjang tuba (4 cm), kemudian bersatu dengan bagian tulang atau timpani. Tempat pertemuan itu merupakan bagian yang sempit yang disebut ismus. Bagian tulang tetap terbuka, sedangkan bagian tulang rawan selalu tertutup dan berakhir pada dinding lateral nasofaring. Pada orang dewasa muara tuba pada bagian timpani terletak kira-kira 2-2,5 cm, lebih tinggi dibanding dengan ujungnya nasofaring. Pada anak-anak, tuba pendek, lebar dan letaknya mendatar maka infeksi mudah menjalar dari nasofaring ke telinga tengah. Tuba dilapisi oleh mukosa saluran nafas yang berisi sel-sel goblet dan kelenjar mukus dan memiliki lapisan epitel bersilia didasarnya. Epitel tuba terdiri dari epitel selinder berlapis dengan sel selinder. Disini terdapat silia dengan pergerakannya ke arah faring. Sekitar ostium tuba terdapat jaringan limfosit yang dinamakan tonsil tuba.
Otot yang berhubungan dengan tuba eustachius
yaitu :
1. M. tensor veli palatini
2. M. elevator veli palatini
3. M. tensor timpani
4. M. salpingofaringeus
Fungsi tuba eustachius sebagai ventilasi
telinga yaitu mempertahankan keseimbangan tekanan udara didalam kavum timpani
dengan tekanan udara luar, drenase sekret dari kavum timpani ke nasofaring dan
menghalangi masuknya sekret dari nasofaring ke kavum timpani.
2.2. FISIOLOGI PENDENGARAN
Getaran suara ditangkap oleh daun telinga yang
dialirkan keliang telinga dan
mengenai membran timpani, sehingga membran
timpani bergetar. Getaran ini diteruskan ke tulang-tulang pendengaran yang
berhubungan satu sama lain. Selanjutnya stapes menggerakkan tingkap lonjong
(foramen ovale) yang juga menggerakkan perilimf dalam skala vestibuli. Getaran
diteruskan melalui membran Reissener yang mendorong endolimfe dan membran basal
kearah bawah, perilimfe dalam skala timpani akan bergerak sehingga tingkap
(forame rotundum) terdorong ke arah luar13.
Skala media yang menjadi cembung mendesak
endolimf dan mendorong membran basal, sehingga menjadi cembung kebawah dan
menggerakkan perilimf pada skala timpani. Pada waktu istirahat ujung sel rambut
berkelok-kelok, dan dengan berubahnya membran basal ujung sel rambut menjadi
lurus. Rangsangan fisik tadi diubah oleh adanya perbedaan ion Kalium dan ion
Natrium menjadi aliran listrik yang diteruskan ke cabang-cabang n.VII, yang
kemudian meneruskan rangsangan itu ke pusat sensorik pendengaran diotak ( area
39-40) melalui saraf pusat yang ada dilobus temporalis.
2.3. Konsep dasar teori
2.3.1. Pengertian
Otitis media merupakan peradangan
sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba eustachius, antrum mastoid
dan sel-sel mastoid (Buku Ajar
Ilmu penyakit THT,
1998:hal.50). atau dalam sebutan sehari-hari disebut “congek”.
Ada 3 ( tiga ) jenis otitis media
yang paling umum ditemukan di klinik, yaitu:
1)
Otitis
media akut merupakan infeksi akut telinga tengah (Keperawatan Medikal-Bedah Volume 3, 2002:hal.2050).
Otitis media
akut adalah keadaan dimana terdapatnya
cairan di dalam telinga tengah dengan tanda dan gejala infeksi (Buku Ajar Ilmu penyakit THT, 1998)
2)
Otitis media kronik adalah kondisi yang
berhubungan dengan patologi jaringan ireversibel dan biasanya disebabkan karena
episode berulang otitis media akut. (Keperawatan Medikal-Bedah Volume 3, 2002:hal.2052).
Otitis media kronik ialah infeksi kronik di
telinga tengah dengan perforasi membrane timpani dan secret yang keluat terus
menerus atau hilang timbul. (Buku Ajar Ilmu penyakit
THT,
1998)
3)
Otitis
media serosa (efusi telinga tengah)
mengeluarkan cairan, tanpa bukti adanya infeksi aktif, dalam telinga tengah. (Keperawatan Medikal-Bedah Volume 3, 2002:hal.2051).
Nama lain: otitis media nonsupuratif, otitis media
musinosa, otitis media efusi, otitis media sekretoria. Otitis media serosa adalah keadaan terdapatnya secret yang
nonpurulen di telinga tengah, sedangkan membrane timpani utuh. (Buku Ajar Ilmu penyakit THT, 1998
2.3.2. Etiologi
1)
Otitis media akut
Penyebab utama : bakteri
Streptococcus pnemoniae, Hemophylus influenza, dan Moraxella catarrhalis. Paling
sering terjadi bila terjadi ISPA, Inflamasi jaringan sekitarnya, dan reaksi
alergi.
Factor resiko: bayi dan anak-anak karena tuba eustachii pada anak-anak
relative luas, lurus dan pendek sehingga
radang hidung dan tenggorokan lebih lekas mencapai telinga tengah
Factor
lain: Perforasi membrane timpani bisa akibat trauma akibat ledakan, pukulan,
dan kesalahan dalam penggunaan pengorek kuping sampai menyebabkan luka dan
pecahnya membrane timpani (gendang telinga), sehingga bakteri mudah masuk ke
dalam telinga tengah.
2)
Otitis media kronik
Disebabkan
karena infeksi berulang otitis media akut
3)
Otitis media serosa,
disebabkan karena:
·
Pasien dengan disfungsi tuba eustachii seperti
obstruksi yang diakibatkan oleh ISPA dan alergi
·
Pasien setelah menjalani radioterapi dan
barotraumas (e.g: penyelam)
2.3.3. Patofisiologi
1)
Otitis media akut
Bakteri yang umum ditemukan sebagai
organisme penyebab adalah bakteri
Streptococcus pnemoniae, Hemophylus influenza, dan Moraxella catarrhalis.
Paling sering terjadi disfungsi tuba eustachii seperti obstruksi yang
diakibatkan oleh infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), inflamasi jaringan
sekitarnya (eg: sinusitis, hipertropi adenoid), atau reaksi alergi (eg:
rhinitis alergika). Bakteri tersebut menyebar ke telinga tengah yang normalnya
steril melewati tuba eustachii sehingga menyebabkan obstruksi tuba eustachii
dan terjadi disfungsi tuba eustachii. Kita ketahui bahwa tuba eustachii
merupakan penghubung daerah nasofaring di rongga mulut dengan rongga telinga
yang fungsinya adalah :
·
Menjaga keseimbangan
tekanan udara di dalam telinga dan menyesuaikan dengan tekanan udara di luar.
·
Sebagai sawar kuman
yang mungkin akan masuk ke dalam telinga tengah.
Karena fungsi tuba eustachius
terganggu , pencegahan invasi kuman ke dalam telinga tengah juga terganggu,
sehingga bakteri menyebar ke dalam telinga tengah dan terjadi infeksi, respon
inflamasi yang ditandai dengan pembengkakan dan kemerahan di sekitar tuba
eustachii menyebabkan tuba eustachii semakin tersumbat, lalu sel-sel darah
beraksi melawan bakteri dengan mengorbankan diri mereka sendiri. Sebagai
hasilnya terbentuklah eksudat purulen (nanah) dalam telinga tengah. Selain itu pembengkakan jaringan sekitar saluran Eustachius
menyebabkan lendir yang dihasilkan sel-sel di telinga tengah terkumpul di
belakang membrane timpani (gendang telinga). Jika lendir dan nanah bertambah
banyak, pendengaran dapat terganggu karena gendang telinga dan tulang-tulang
kecil penghubung gendang telinga dengan organ pendengaran di telinga dalam
tidak dapat bergerak bebas. Dan juga bisa menyebabkan perforasi pada membrane
timpani (gendang telinga) akibat tekanan yang berlebihan.
Penyakit
ini sering ditemukan pada bayi dan anak-anak, karena tuba eustachii pada
anak-anak relative luas, lurus dan
pendek, sehingga radang hidung dan tenggorokan lebih lekas mencapai telinga tengah
dan menyebar ke tuba eustachii sehingga menyebabkan otitis media akut.
Bakteri
juga mudah masuk ke telinga tengah bila ada perforasi membrane timpani
(terbentuknya lubang yang abnormal pada membrane timpani). Perforasi membrane
timpani bisa diakibatkan trauma akibat ledakan, pukulan, dan kesalahan dalam
penggunaan pengorek kuping sampai menyebabkan luka dan pecahnya membrane
timpani (gendang telinga).
2)
Otitis media kronik
Otitis media kronik disebabkan karena episode berulang otitis
media akut. Sering berhubungan dengan perforasi menetap membrane timpani.
Infeksi kronik telinga tengah tak hanya mengakibatkan kerusakan membran timpani
tetapi juga hampir selalu melibatkan mastoid. Infeksi kronik telinga tengah
dapat menjalar ke tulang mastoid melalui auditus ad antrum sehingga terjadi
mastoiditis. Dan juga dapat mengakibatkan pembentukan kolesteatoma, yang
merupakan pertumbuhan kulit ke dalam (epitel skuamosa) dari lapisan luar
membran timpani ke telinga tengah. Kulit dari membran timpani lateral membentuk
kantong luar, yang akan berisi kulit yang telah rusak dan bahan sebaseus.
Kantong dapat melekat ke struktur telinga tengah dan mastoid. Bila tidak
ditangani, kolesteatoma ddapat tumbuh terus dan menyebabkan paralisis nervus
fasialis, kehilangan pendengaran sensorineural/ gangguan keseimbangan dan abses
otak. Selain itu akibat dari kolesteatoma yang tumbuh terus menerus, semakin
membesar dapat menekan jaringan tulang sekitar sehingga menyebabkan destruksi
osikulus (tulang-tulang telinga).
3)
Otitis media serosa
Otitis media serosa (efusi telinga
tengah) juga disebabkan karena disfungsi tuba eustachii seperti obstruksi yang
diakibatkan oleh infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), inflamasi jaringan
sekitarnya (eg: sinusitis, hipertropi adenoid), atau reaksi alergi (eg:
rhinitis alergika). Akibat dari obstruksi tuba eustachii ini maka menimbulkan
tekanan negative dalam telinga tengah dan mengeluarkan cairan tanpa bukti
adanya infeksi aktif dalam telinga tengah.
Efusi telinga tengah juga sering
terlihat pada pasien setelah menjalani radioterapi dan barotrauma (eg:
penyelam). Barotraumas terjadi bila terjadi perubahan tekanan mendadak dalam
telinga tengah akibat perubahan tekanan barometric seperti pada penyelam.
Perbedaan tekanan yang berlebihan ini menyebabkan otot yang normal aktivitasnya
tidak mampu membuka tuba sehingga cairan terperangkap di dalam telinga tengah
menyebabkan kehilangan pendengaran
2.3.5. Manifestasi klinis
1)
Otitis media akut
Gejala otitis media dapat bervariasi menurut
beratnya infeksi dan bisa sangat ringan dan sementara atau sangat berat.
·
Otalgia (nyeri telinga)
·
Keluarnya cairan dari
telinga
·
Demam
·
Kehilangan pendengaran
·
Tinitus (bising telinga)
·
Pada pemeriksaan
otoskopis, kanalis auditorius eksternus sering tampak normal dan tak terjadi
nyeri bila aurikula digerakkan.
·
Membrane timpani tampak
merah dan sering menggelembung
2)
Otitis media kronik
·
Kehilangan pendengaran
·
Terdapat otorea (cairan dalam telinga)
intermitten dan persisten yang berbau busuk
·
Biasanya tidak ada nyeri, kecuali pada kasus mastoiditis akut, dimana daerah
post-aurikuler menjadi nyeri tekan dan bahkan merah dan edema.
·
Kolesteatoma biasanya tidak menyebabkan nyeri
·
Evaluasi otoskopik membrane timpani menunjukkan
adanya perforasi
·
Kolesteatoma dapat terlihat sebagai massa putih
di belakang membrane timpani atau keluar
kanalis eksternus melalui lubang perforasi.
3)
Otitis media serosa
·
Pasien mungkin mengeluh kehilangan pendengaran
·
Rasa penuh dalam telinga atau perasaan
bendungan, bahkan suara letup atau berderik yang terjadi ketika tuba eustachii
berusaha membuka
·
Pada pemeriksaan otoskopi, membrane timpani
tampak kusam dan dapat terlihat gelembung udara dalam telinga tengah.
·
Kehilangan pendengaran konduktif
2.3.6. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan dengan atoskop (alat untuk memeriksa
liang-liang gendang telinga dengan jelas).
2) Melihat ada tidaknya gendang telinga yang menggembung,
perubahan warna gendang telinga menjadi kemerahan / agak kuning dan suram,
serta cairan di liang telinga.
3) Otoskopi pneumatik (pemeriksaan telinga dengan otoskop
untuk melihat gendang telinga yang dilengkapi dengan udara kecil). Untuk
menilai respon gendang telinga terhadap perubahan tekanan udara.
Tujuan :
untuk melihat berkurangnya atau tidak ada sama sekali gerakan gendang telinga.
Timpanogram è
untuk mengukur kesesuaian dan kekuatan membran timpani.
Kultur dan uji sensitifitas dilakukan timpano sintesis (aspirasi jarum dari telinga
tengah melalui membran timpani).
2.3.7. Komplikasi
Komplikasi yang serius adalah :
·
Infeksi pada tulang
sekitar telinga tengah (mastoiditis atau petrositis).
·
Labirinitis
(infeksi pada kanalis semisirkuler).
·
Tuli
·
Peradangan pada
selaput otak (meningitis).
·
Abses otak.
2.3.8. Penatalaksanaan
Hasil penatalaksanaan otitis media
bergantung pada efektivitas terapi (mis: dosis antibiotika oral yang diresepkan
dan durasi terapi), virulensi bakteri, dan status fisik pasien. Dengan terapi
antibiotika spectrum luas yang tepat dan awal, otitis media dapat hilang tanpa
gejala sisa yang serius. Bila terjadi pengeluaran cairan, biasanya perlu
diresepkan preparat, otik antibiotika. Kondisi bisa berkembang menjadi subakut
(mis: berlangsung 3 minggu sampai 3 bulan), dengan pengeluaran cairan purulen
menetap dari telinga. Jarang sekali terjadi kehilangan pendengaran permanen.
Komplikasi sekunder mengenai mastoid dan komplikasi intracranial serius,
seperti meningitis atau abses otak, dapat terjadi meskipun jarang. Insisi pada
membrane timpani dikenal sebagai miringotomi
atau timpanotomi. Membrane
timpani dianastesi menggunakan anestesi local seperti fenol atau menggunakan
iontoforesis. Pada iontoforesis suatu arus elektris mengalir melalui larutan
lidokain-epinefrin untuk membuat liang telinga dan membrane timpani kebas.
Prosedur ini tidak menimbulkan nyeri dan berlangsung tidak sampai lima belas
menit. Di bawah mikroskop kemudian dibuat insisi melalui membrane timpani untuk
mengurangi tekanan dan mengalirkan cairan serosa atau purulen dari telinga
tengah. Normalnya, prosedur ini tidak diperlukan untuk otitis media akut;
namun, perlu dilakukan bila nyeri menetap. Miringotomi juga memungkinkan
identifikasi organism infeksi dan menentukan sensitivitasnya terhadap agens antibiotika.
Insisi akan menyembuh dalam 24 atau 72 jam. Bila episode otitis media akut
terjadi berulang dan tidak ada kontraindikasi, dapat dipasang tabung ventilasi
atau penyeimbang tekanan (PE, Pressure equalizing). Tabung ventilasi secara temporer
mengambil alih tugas tuba eustachii dalam menyeimbangkan tekanan dan
dipertahankan selama 6 sampai 18 bulan. Tabung ventilasi lama kelamaan akan
diekstrusi oleh migrasi kulit normal membrane timpani, dan lubang dapat
menyembuh pada hampir setiap kasus. Tabung ventilasi lebih sering digunakan
untuk menangani episode otitis media akut berulang pada anak daripada dewasa.
Otitis media serosa tidak perlu
ditangani secara medis kecuali terjadi infeksi (otitis media akut). Bila
kehilangan pendengaran yang berhubungan dengan efusi telinga tengah menimbulkan
masalah bagi pasien, maka bisa dilakukan miringotomi dan dipasang tabung untuk
menjaga telinga tengah tetap terventilasi. Kortikosteroid, dosis rendah, kadang
dapat mengurangi edema tuba eustachii pada kasus barotrauma.
Pada otitis media kronik,
penanganan local meliputi pembersihan hati-hati telinga menggunakan mikroskop
dan alat pengisap. Pemberian tetes antibiotika atau pemberian bubuk antibiotika
sering membantu bila ada cairan purulen. Antibiotika sistemik biasanya tidak
diresepkan kecuali pada kasus infeksi akut. Berbagai prosedur pembedahan dapat
dilakukan bila dengan penanganan obat tidak efektif. Yang paling sering adalah timpanoplasti-rekonstruksi bedah
membrane timpani dan osikulus. Tujuan timpanoplasti adalah mengembalikan fungsi
telinga tengah, menutup lubang perforasi telinga tengah, mencegah infeksi
berulang, dan memperbaiki pendengaran. Dalam sejarah ada 5 tipe timpanoplasti.
Prosedur bedah yang paling sederhana, tipe I (Miringoplasti), dirancang untuk
menutup lubang perforasi pada membrane timpani. Prosedur lain, tipe II sampai
V, meliputi perbaikan yang lebih intensif struktur telinga tengah. Struktur dan
derajat keterlibatannya bisa berbeda, namun bagian semua prosedur timpanoplasti
meliputi pengembalian kontinuitas mekanisme konduksi suara. Timpanoplasti
dilakukan melalui kanalis auditorius eksternus, baik secara transkanal atau
melalui insisi postaurikuler. Isi telinga tengah diinspeksi secara teliti, dan
hubungan antara osikulus dievaluasi. Terputusnya rantai osikulus adalah yang
paling sering pada otitis media, namun masalah rekonstruksi juga akan muncul
dengan adanya malformasi telinga tengah dan dislokasi osikuler akibat cedera
kepala. Perbaikan dramatis pendengaran dapat terjadi setelah penutupan lubang
perforasi dan perbaikan kembali osikulus. Pembedahan biasanya dilakukan pada
pasien rawat jalan dengan anesthesia umum. Selanjutnya mastoidektomi, tujuan
pembedahan mastoid adalah untuk mengangkat kolesteatoma, mencapai struktur yang
sakit, dan menciptakan telinga yang aman, kering dan sehat. Bila mungkin, osikulus direkonstruksi selama
prosedur pembedahan awal. Namun, kadang beratnya penyakit mengharuskan hal ini
dilakukan sebagai bagian operasi kedua yang terencana. Mastoidektomi biasanya
dilakukan melalui insisi post-aurikuler, dan infeksi dihilangkan dengan
mengambil secara sempurna sel udara mastoid. Nervus fasialis berjalan melalui
telinga tengah dan mastoid dan dapat mengalami bahaya selama pembedahan mastoid,
meskipun jarang mengalami cidera. Begitu pasien bangun dari pembiusan, harus
diperhatikan setiap tanda paresis fasialis yang harus segera dilaporkan ke
dokter. Bila terjadi kelemahan fasial, balutan mastoid harus dilonggarkan dan
pasien dikembalikan ke meja operasi, luka dibuka, dan nervus fasialis
didekompresi untuk melonggarkan kanalis tulang yang mengelilingi nervus
fasialis. Mastoidektomi kedua mungkin diperlukan 6 bulan setelah yang pertama
untuk mengecek kekambuhan kolesteatoma. Mekanisme pendengaran dapat
direkonstruksi pada saat ini bila kolesteatoma telah dieradikasi sempurna.
Angka keberhasilan untuk mengkoreksi kehilangan pendengaran konduktif ini
sekitar 50% sampai 60%.
|
2.4. Konsep dasar Askep
2.4.1. Pengkajian teoritis
1.
Identitas klien
(nama,
umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal
dan jam masuk RS, no register dan diagnosis medis).
2.
Keluhan utama
Klien
masuk rumah sakit dengan keluhan nyeri dan gangguan pendengaran
3.
Riwayat Kesehatan Sekarang
Biasanya
klien mengeluh nyeri (otalgia), gangguan pendengaran disertai keluarnya cairan
dari dalam telinga (otore).
4.
Riwayat Kesehatan Dahulu
·
Pernah mempunyai riwayat ISPA yang berulang
·
Pernah mempunyai riwayat alergi
5.
Riwayat Kesehatan Keluarga
Adakah penyakit
yang diderita oleh anggota keluarga yang lalu yang mungkin ada hubungannya
dengan penyakit klien sekarang.
6.
Data Dasar pengkajian
·
Kaji adanya perilaku nyeri
·
Kaji adanya peningkatan suhu
·
Kaji status nutrisi dan
keadekuatan asupan cairan berkalori
·
Kaji adanya pembesaran kelenjar
limfe di daerah leher
·
Kaji kemungkinan tuli.
2.4.2. Diagnosa keperawatan prioritas yang mungkin
muncul
1) Nyeri
berhubungan dengan inflamasi pada jaringan tengah telinga
2) Gangguan
sensori-persepsi berhubungan dengan kerusakan pada telinga tengah
3) Gangguan berkomunikasi berhubungan
dengan efek kehilangan pendengaran.
4) Gangguan citra diri berhubungan
dengan paralysis nervus fasialis (nervus kranialis VII)
5) Intoleransi
aktifitas berhubungan dengan nyeri
6) Ansietas
berhubungan dengan kurangnya pengetahuan mengenai pengobatan dan pencegahan
kekambuhan
2.4.3. Rencana Asuhan Keperawatan (NCP)
No
|
Diagnosa
Keperawatan
|
Tujuan
|
Kriteria
Hasil
|
Intervensi
|
Rasional
|
1
|
Nyeri
berhubungan dengan inflamasi pada jaringan tengah telinga
|
Setelah
dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan nyeri berkurang
|
·
Nyeri berkurang.
·
Meminta analgetik
sesuai kebutuhan
·
TTV DBN:
-
TD: 110/70-120/80 mmHg
-
ND: 60-100 x/i
-
RR: 16-24 x/i
-
S: 36,5-37,5°C
|
· Dorong
pasien untuk melaporkan nyeri
· Kaji
laporan nyeri, catat lokasi, lamanya, intensitas (0-10). Selidiki dan
laporkan perubahan karakteristik nyeri
MANDIRI
· kaji
ulang factor-faktor yang meningkatkan atau menghilangkan nyeri
· izinkan
pasien untuk memulai posisi nyaman
· berikan
tindakan nyaman
· kompres
dingin sekitar area telinga
KOLABORASI
· Berikan
analgetik
|
·
Mencoba untuk
mentoleransi nyeri
·
Perubahan pada
karakteristik nyeri dapat menunjukkan penyebaran penyakit/ terjadinya
komplikasi.
· Dapat
menunjukkan dengan tepat pencetus atau factor pemberat atau mengidentifikasi
terjadinya komplikasi.
· Meningkatkan
relaksasi, memfokuskan kembali perhatian, dan meningkatkan kemampuan koping.
· Meredakan
nyeri
·
Untuk meredakan nyeri
|
2
|
Gangguan
sensori-persepsi berhubungan dengan kerusakan pada telinga tengah
|
Setelah
dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan sensori-persepsi membaik
|
·
Klien akan mengalami peningkatan persepsi/sensoris
pendengaran sampai pada tingkat fungsional
·
TTV DBN:
-
TD: 110/70-120/80 mmHg
-
ND: 60-100 x/i
-
RR: 16-24 x/i
-S:36,5-37,5°C
|
· mengurangi kegaduhan pada
lingkungan klien
· Memandang klien ketika sedang
berbicara
· Berbicara jelas dan tegas pada
klien tanpa perlu berteriak
· Memberikan pencahayaan yang
memadai bila klien bergantung pada gerak bibir
· Menggunakan tanda – tanda
nonverbal ( mis. Ekspresi wajah, menunjuk, atau gerakan tubuh ) dan bentuk
komunikasi lainnya.
· Instruksikan kepada keluarga atau
orang terdekat klien tentang bagaimana teknik komunikasi yang efektif
sehingga mereka dapat saling berinteraksi dengan klien
· Bila klien menginginkan dapat
digunakan alat bantu pendengaran.
|
·
Membantu pendengaran
· Agar
klien mengerti apa yang dibicarakan
· Dengan
memperhatikan gerak bibir ketika sedang berbicara dapat membantu pasien dalam
komunikasi
· Membantu
lancarnya komunikasi pada klien gangguan sensori persepsi
|
3
|
Gangguan berkomunikasi berhubungan
dengan efek kehilangan pendengaran
|
Setelah
dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan komunikasi
membaik/ gangguan komunikasi berkurang.
|
· Klien akan memakai alat bantu
dengar (jika sesuai).
· Menerima pesan melalui metoda
pilihan (misal : komunikasi tulisan, bahasa lambang, berbicara dengan jelas
pada telinga yang baik.
|
· Dapatkan apa metode komunikasi
yang dinginkan dan catat pada rencana perawatan metode yang digunakan oleh
staf dan klien, seperti :Tulisan,Berbicara,Bahasa isyarat.
Kaji kemampuan untuk menerima pesan secara verbal. 1. Jika ia dapat mendegar pada satu telinga, berbicara dengan perlahan dan dengan jelas langsung ke telinga yang baik (hal ini lebih baik daripada berbicara dengan keras). 2. Tempatkan klien dengan telinga yang baik berhadapan dengan pintu. 3. Dekati klien dari sisi telinga yang baik. Jika klien dapat membaca ucapan: 1. Lihat langsung pada klien dan bicaralah lambat dan jelas. 2. Hindari berdiri di depan cahaya Perkecil distraksi yang dapat menghambat konsentrasi klien.
· Minimalkan percakapan jika klien
kelelahan atau gunakan komunikasi tertulis.
· Tegaskan komunikasi penting dengan
menuliskannya.
· Jika ia hanya mampu bahasa
isyarat, sediakan penerjemah.
· Alamatkan semua komunikasi pada
klien, tidak kepada penerjemah. Jadi seolah-olah perawat sendiri yang
langsung berbicara kepada klien dengan mengabaikan keberadaan penerjemah
· Gunakan faktor-faktor yang
meningkatkan pendengaran dan pemahaman.
· Bicara dengan jelas, menghadap
individu.
· Ulangi jika klien tidak memahami
seluruh isi pembicaraan.
· Gunakan rabaan dan isyarat untuk
meningkatkan komunikasi.
· Validasi pemahaman individu dengan
mengajukan pertanyaan yang memerlukan jawaban lebih dari ya dan tidak.
|
· Metode
komunikasi untuk membantu kesulitan
berkomunikasi
· karena dapat menyebabkan klien
tidak dapat membaca bibir anda.
|
4
|
Gangguan citra diri berhubungan
dengan paralysis nervus fasialis (nervus kranialis VII)
|
Setelah
dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan klien memiliki
gambaran diri yang positif
|
· klien
dapat melakukan upaya untuk mengatasi penyakitnya
· klien
dapat melakukan aktivitas fisik dan social sehari-hari
|
· Kaji tingkat kecemasan dan
mekanisme koping klien terlebih dahulu
· Beritahukan pada klien kemungkinan
terjadinya fasial palsy akibat tindak lanjut dari penyakit tersebut
· Informasikan bahwa keadaan ini
biasanya hanya bersifat sementara dan akan hilang dengan pengobatan yang
teratur dan rutin.
|
· Untuk
mengurangi pikiran negative klien terhadap penyakitnya
· Agar
klien mengerti proses penyakitnya dan berusaha menghilangkan pikiran negative
terhadap penyakitnya
· Membantu
meringankan rasa takut klien terhadap penyakitnya
|
5
|
Ansietas
berhubungan dengan kurangnya pengetahuan mengenai pengobatan dan pencegahan
kekambuhan
|
Setelah
dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan klien merasa
aman dan tidak ansietas lagi
|
·
Klien tampak rileks
·
Melaporkan ansietas
berkurang
·
Mampu
mengidentifikasi cara hidup sehat dengan membagikan perasaannya.
|
·
Observasi tingkah
laku yang menunjukkan tingkat ansietas.
·
Tinggal bersama
pasien, mempertahankan sikap yang tenang. Mengakui atau menjawab
kekhawatirannya dan mengizinkan perilaku pasien yang umum.
·
Bicara singkat dengan
kata sederhana.
·
Kurangi stimulasi
dari luar
·
Diskusikan dengan
pasien atau orang terdekat penyebab emosional yang labil
·
Tekankan harapan
bahwa pengendalian emosi itu harus tetap diberikan sesuai dengan perkembangan
terapi obat.
|
·
Ansietas ringan dapat
ditunjukkan dengan peka rangsang dan insomnia. Ansietas berat yang berkembang
kedalam keadaan panic dapat menimbulkan perasaan terancam, terror,
ketidakmampuan untuk berbicara dan bergerak, berteriak-teriak.
·
Menegaskan pada
pasien atau orang terdekat bahwa walaupun perasaan pasien di luar control,
lingkungannya tetap aman.
·
Memberikan informasi
akurat yang dapat menurunkan distorsi/ kesalahan interpretasi yang dapat
berkenaan pada reaksi ansietas.
·
Rentang perhatian
mungkin menjadi pendek, konsentrasi berkurang, yang membatasi kemampuan untuk
mengasimilasi informasi.
·
Menciptakan
lingkungan yang terapeutik.
·
Memahami bahwa
tingkah laku didasarkan atas fisiologis dapat memungkinkan respon yang
berbeda
|
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Otitis
media akut merupakan infeksi akut telinga tengah
yang disebabkan oleh masuknya bakteri
Streptococcus pnemoniae, Hemophylus influenza, dan Moraxella catarrhalis ke
dalam telinga tengah yang normalnya steril.
Paling sering terjadi bila terjadi ISPA, Inflamasi jaringan sekitarnya, dan
reaksi alergi. Dengan gejala Otalgia (nyeri telinga), Keluarnya cairan dari telinga,
Demam, Kehilangan pendengaran, Tinitus (bising telinga), Pada pemeriksaan otoskopis, kanalis
auditorius eksternus sering tampak normal dan tak terjadi nyeri bila aurikula
digerakkan, Membrane timpani tampak merah dan sering menggelembung.
Otitis media kronik adalah kondisi yang
berhubungan dengan patologi jaringan ireversibel dan biasanya disebabkan karena
episode berulang otitis media akut.
Otitis
media serosa (efusi telinga tengah)
mengeluarkan cairan, tanpa bukti adanya infeksi aktif, dalam telinga tengah
disebabkan karena Obstruksi tuba eustachii, Pasien setelah menjalani radioterapi dan
barotraumas (e.g: penyelam), Pasien dengan disfungsi tuba eustachii akibat ISPA
dan alergi.
3.2 Saran
·
Diharapkan kepada mahasiswa dapat mempelajari dan memahami tentang
penyakit otitis media akut, serosa, dan kronik dan pencegahannya.
·
Dalam bidang keperawatan, mempelajari
suatu penyakit itu penting, dan diharapkan kepada mahasiswa mampu membuat
konsep teoritis suatu penyakit tersebut beserta asuhan keperawatannya.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner dan Suddart. 2002. Keperawatan Medical-Bedah. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC Volume 3.
Soepardi,
Efiaty Arsyad & Nurbaiti Iskandar. 1998. Buku Ajar Ilmu penyakit THT. FKUI:Jakarta.
Herawati, sri, dkk. 2003. Buku
ajar Ilmu penyakit telinga hidung tenggorok untuk mahasiswa Fakultas Kedokteran
Gigi. EGC : Jakarta
Iskandar, Nurbaiti. 2006. Ilmu
Penyakit Telinga Hidung Tenggorok untuk perawat, edisi 2. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta
Doenges
Marilynn, dkk. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan, edisi 3 . EGC :
Jakarta.
Ramli Ahmad,
dkk. 2000. Kamus Kedokteran. Djambatan : Jakarta.
Dorlan W.A.
Nawman. 2002. Kamus Kedokteran Darkin. Edisi 29. EGC : jakarta.
http://moveamura.wordpress.com/medical-surgical-nursing/askep-otitis-media/
No comments:
Post a Comment