BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Demam reumatik adalah suatu penyakit sistemik akut atau
kronik dapat sembuh sendiri oleh sebab yang belum jelas atau menimbulkan cacat
pada katup jantung secara lambat. Tidak jarang penyakit ini malah menjadi akut
dan gawat.
Prevalensi demam reumatik di Indonesia
belum diketahui secara pasti, meskipun ada beberapa penelitian yang pernah
dilakukan dengan demikian dapat diperkirakan bahwa prevalensi demam reumatik di
Indonesia
pasti lebih tinggi.
Pertama-tama perlu ditekankan bahwa demam reumatik ini
merupakan penyakit yang dapat dicegah, pengertian dan kemampuan untuk mengenal
penyakit ini serta kesadaran para dokter untuk menanggulanginya merupakan hal
yang sangat penting peran serta masyarakat berupa kesadaran akan pentingnya
kesehatan dan perbaikan keadaan lingkungan benar-benar diperlukan dalam
menanggulangi penyakit ini.
Dari latar belakang di atas penulis ingin mengetahui konsep
dari teori tentang demam reumatik.
1.2.
Rumusan
Masalah
1.
Konsep teori demam reumatik
2.
Asuhan keperawatan demam reumatik
1.3.
Tujuan
dan Manfaat
1. Tujuan
a.
Untuk mengetahui tentang konsep
dasar teori dari penyakit demam reumatik.
b.
Untuk mendapatkan gambaran umum
tentang penerapan proses asuhan keperawatan pada demam reumatik
2. Manfaat
a.
Menambah pengetahuan penulis dalam
penerapan asuhan keperawatan pada pasien demam reumatik.
b.
Menambah pengetahuan dan wawancara
bagi semua pembaca.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
1. Definisi
Penyakit jantung rematik atau demam reumatik
merupakan penyakit peradangan yang dapat menyertai faringitis yang disebabkan
oleh streptococcus beta hemolyticus grup A.
Demam rematik atau penyakit jantung rematik
(RHD) adalah suatu proses peradangan yang mengenai jaringan-jaringan penyokong
tubuh, terutama persendian, jantung dan pembuluh darah oleh organisme
streptococcus hemolitic-b grup A (Pusdiknakes, 1993).
Mitral stenosis adalah penyakit jantung yang ditandai adanya
kerusakan pada katup jantung sebagai akibat infeksi streptococcus beta
hemolitik grup A (Pratanu Sunoto, 1990).
Demam reumatik adalah suatu penyakit sistemik akut atau
kronik dapat sembuh sendiri oleh sebab yang belum jelas, tidak ajrang penyakit
ini malah menjadi akut dan gawat.
Demam reumatik merupakan suatu penyakit
radang yang terjadi setelah adanya infeksi streptokokus golongan beta hemolitik
A, yang dapat menyebabkan lesi patologis di daerah jantung, pembuluh darah,
sendi dan jaringan subkutan.
Demam reumatik ialah sindrom klinis
sebagai akibat infeksi beta streptococcus hemoliticus grup A dengan satu atau
lebih gejala mayor yaitu poliartritis migrans akut, karditis, korea minor, nodul subkutan dan
eritema marginatum.
2. Etiologi
Infeksi streptococcus beta hemoylticus grup A pada
tenggorokan selalu mendahului terjadinya demam reumatik, baik pada serangan
pertama maupun serangan ulang.
Biasanya 1-4 minggu sesudah serangan tonsillitis,
nasofaringitis atau otitis media, infeksi streptococcus ini menghasilkan
antigen bagi berlangsungnya reaksi antigen-antibody sehingga menyebabkan demam
reumatik. Dugaan adanya reaksi imunologis ini didukung dengan penemuan
konsentrasi antibodi antistreptococus tetapi tidak ditemukan pada mereka yang
tidak menderita.
Faktor-faktor predisposisi seseorang mudah mendapat demam
rematik adalah:
·
Umur : jarang ditemukan pada umur
di bawah 4 tahu atau di atas 15 tahun. Paling banyak pada umur 5 – 10 tahun.
·
Familial suspectibility : karena
demam rematik sering ditemukan pada beberapa anggota dari satu keluarga.
·
Malnutrition
·
Lingkungan yang padat
·
Keadaan kesehatan yang memburuk
dan daya tahan individu yang menurun.
3. Pathofisiologi
Demam reumatik akut biasanya didahului oleh radang
tenggorokan yang disebabkan oleh infeksi Streptokokus
beta-hemolitikus grup A, sehingga kuman tersebut dianggap sebagai penyebab
demam reumatik akut. Infeksi tenggorok yang terjadi bisa berat, sedang, ringan
atau asimtomatik, diikuti fase laten (asimtomatik) selama 1 sampai 3 minggu.
Baru setelah itu timbul gejala-gejala demam reumatik akut.
Hingga sekarang masih belum diketahui dengan pasti
hubungan langsung antara infeksi Streptokokus dengan gejala demam reumatik
akut. Yang masih dianut hingga sekarang adalah teori autoimunitas. Produk
Streptokokus yang antigenik secara difusi keluar dari sel-sel tenggorok dan
merangsang jaringan limfoid untuk membentuk zat anti. Beberapa antigen Streptokokus,
khususnya Streptolisin O dapat mengadakan reaksi silang dengan antigen jaringan
tubuh sehingga terjadi reaksi antigen-antibodi antara zat anti terhadap
Streptokokus dan jaringan tubuh.
Pada demam reumatik dapat terjadi peradangan pada semua lapisan
jantung yang disebut pankarditis. Peradangan endokardium biasanya mengenai
endotel katup, mengakibatkan pembengkakan daun katup dan erosi pinggir daun
katup. Vegetasi seperti manik-manik akan timbul di sepanjang pinggir daun katup.
Bila miokardium terserang, timbul lesi nodular khas yang dikenal sebagai badan Aschoff pada dinding jantung.
Perikarditis eksudatif yang disertai penebalan lapisan perikardium merupakan
ciri khas demam rematik akut.
Serangan berulang karditis rematik akan menyebabkan gangguan
penyakit katup. Perubahan patologis penyakit katup rematik kronis timbul akibat
proses penyembuhan yang disertai pembentukan jaringan parut.
Pada perjalanan penyakit katup demam rematik kronis,
gejala biasanya tidak muncul sampai bertahun-tahun setelah serangan awal;
periode laten ini dapat berulang hingga dekade ketiga, keempat dan kelima.
Deformitas akhir yang menyebabkan stenosis katup ditandai oleh penebalan dan
penyatuan daun katup disepanjang komisura (tempat persambungan antara dua daun
katup). Korda tendinae katup atrioventrikularis (AV) dapat juga menebal dan
menyatu
Klasifikasi dan sklerosis jaringan katup akibat usia
lanjut juga berperan dalam perubahan bentuk katup akibat demam rematik.
Penyakit kronis yang disertai kegagalan ventrikel serta pembesaran ventrikel
juga dapat mengganggu fungsi katup AV. Bentuk ventrikel mengalami perubahan
sehingga kemampuan otot papilaris untuk mendekatkan daun-daun katup pada waktu
katup menutup akan berkurang. Selain itu lubang katup juga melebar, sehingga semakin
mempersulit penutupan katup dan timbul insufisiensi katup. Jenis insufisiensi
yang timbulakibat pembesaran ruangan jantung ini dikenal sebagai regurgitasi
fungsional. Insiden tertinggi penyakit katup pada
katup mitralis kemudian katup aorta.
Stenosis
Mitral
Otot atrium kiri mengalami hipertrofi
untuk meningkatkan kekuatan pemompaan darah. Atrium kiri kini tidak lagi
berfungsi primer tetapi berfungsi mengalirkan darah ke ventrikel. Dilatasi
atrium terjadi karena volume atrium kiri meningkat akibat ketidakmampuan atrium
untuk mengosongkan diri secara normal. Peningkatan tekanan dan volume atrium
kiri dipantulkan ke belakang kedalam pembuluh darah paru akibatnya terjadi
kongesti paru-paru. Hipertensi pulmonalis meningkatkan resistensi ejeksi
ventrikel kanan menuju arteria pulmonalis. Ventrikel kanan berespon terhadap
peningkatan beban tekanan dengan hipertrofi otot. Ventrikel kanan tidak dapat
memenuhi tugas sebagai pompa bertekanan tinggi untuk jangka panjang. Oleh
karena itu, ventrikel kanan akhirnya tidak dapat berfungsi lagi sebgai pompa,
kegagalan menimbulkan kongesti vena sistemik dan edema perifer. Gagal jantung
kanan dapat disertai regurgitasi fungsional katup trikuspidalis.
Regurgitasi Mitralis
Regurgitasi mitralis memungkinkan
aliran darah berbalik dari ventrikel kiri ke atrium kiri akibat penutupan katup
yang tidak sempurna. Selama sistolik ventrikel secara bersamaan mendorong darah
kedalam aorta dan kembali kedalam atrium kiri. Kerja vebtrikel kiri maupun
atrium kiri harus ditingkatkan agar mempertahankan curah jantung. Ventrikel
kiri harus memompakan darah dalam jumlah cukup guna mempertahankan aliran darah
normal ke dalam aorta dan darah yang kembali melalui katup mitralis. Beban
volume tambahan yang ditimbulkan oleh katup yang mengalami insufisiensi akan
segera mengakibatkan dilatasi ventrikel. Akhirnya, dinding ventrikel mengalami
hipertrofi sehingga meningkatkan kekuatan kontraksi selanjutnya.
Regurgitasi menimbulkan beban volume
tidak hanya bagi ventrikel kiri tetapi juga bagi atrium kiri. Atrium kiri
berdilatasi untuk memungkinkan peningkatan volume dan meningkatkan kekuatan
kontraksi atrium. Selanjutnya atrium mengalami hipertrofi untuk meningkatkan
kekuatan kontraksi dan curah atrium lebih lanjut. Namun regurgitasi mitralis
merupakan lesi yang berlangsung secara terus-menerus. Dengan makin meningkatnya
volume dan ukuran ventrikel maka fungsi katup menjadi bertambah buruk.
Pembesaran ruang jantung meningkatkan derajat regurgitasi dengan menggeser otot
papilaris dan melebarkan lubang katup mitralis.
Bila lesi makin parah, atrium kiri
menjadi tidak mampu lagi untuk meregang dan melindungi paru-paru. Kegagalan
ventrikel kiri biasanya merupakan tahap awal untuk mempercepat dekompensasi
jantung. Ventrikel kiri mendapat beban yang terlalu berat dan aliran darah
melalui aorta menjadi berkurang dan terjadi kongesti kebelakang. Secara
bertahap, urutan kejadian yang terjadi pada paru dan jantung kanan yang terkena
adalah: 1) kongesti vena pulmonalis, 2) edema intersisial, 3) hipertensi arteria
pulmonalis, 4) hipertrofi ventrikel kanan.
Stenosis Aorta
Stenosis aorta menghalangi aliran
darah dari ventrikel kiri ke aorta pada waktu sistolik ventrikel. Dengan
meningkatnya resistensi terhadap ejeksi ventrikel maka beban tekanan ventrikel
kiri menjadi hipertrofi. Hal ini menyebabkan timbulnya selisih tekanan yang
mencolok antara ventrikel kiri dan aorta (Gbr. 32-7). Untuk mengkompensasi dan
mempertahankan curah jantung, ventrikel kiri tidak hanya memperbesar tekanan
tetapi juga memperpanjang waktu ejeksi. Oleh karena itu, meskipun terjadi
penyempitan progresif pada orifisium aorta yang menyebabkan peningkatan kerja
ventrikel, efisiensi mekanis jantung masih dapat dipertahankan dalam waktu
lama. Namun, akhirnya kemampuan ventrikel kiri untuk menyesuaikan diri
terlampaui.
Kegagalan ventrikel progresif
mengganggu pengosongan ventrikel. Curah jantung menurun dan volume ventrikel
bertambah. Akibatnya ventrikel mengalami dilatasi dan kadang-kadang disertai
regurgitasi fungsional katup mitralis. Stenosis aorta lanjut dapat disertai
kongesti paru-paru berat. Kegagalan ventrikel kanan dan kongesti vena sistemik
merupakan petunjuka bahwa penyakit berada dalam stadium akhir.
Regurgitasi Aorta
Regurgitasi aorta menyebabkan refluks
darah dari aorta ke dalam ventrikel kiri sewaktu relaksasi vebtrikel.
Pada setiap kontraksi, ventrikel harus
mampu mengeluarkan sejumlah darah yang sama dengan volume sekuncup normal
ditambah volume regurgitasi. Ventrikel kiri mengalami dilatasi berat dan
akhirnya menjadi hipertrofi, sehingga bentuknya berubah seperti bola.
Peningkatan daya regang dinding ventrikel memungkinkan peningkatan volume
diastolic tanpa peningkatan tekanan abnormal.
Kemampuan kompensasi ventrikel kiri
yang tinggi disertai dengan katup mitralis yang kompeten dapat mempertahankan
fungsi ventrikel untuk jangka waktu lama. Kerusakan ventrikel kiri ireversibel
akibat ejeksi beban volume berlebihan terhadap resistensi sistemik yang
berlangsung lama, dapat terjadi menetap.
Hipertrofi ventrikel kiri dan tekanan
diastolic yang rendah yang berturut-turut mneingkatkan kebutuhan oksigen dan
menurunkan suplai oksigen.
Regurgutasi
Katup Trikuspidalis
Regurgitasi adalah kebocoran pada
katup trikuspidalis yang terjadi setiap kali ventrikel kanan berkontraksi. Pada
regurgitasi katup trikuspidalis, ketika ventrikel kanan berkontraksi yang
terjadi bukan hanya pemompaan darah ke paru-paru tetapi juga pengaliran kembali
sejumlah darah ke atrium kanan. Kebocoran ini menyebabkan meningkatnya tekanan
di dalam atrium dan menyebabkan pembesaran atrium kanan. Tekanan ini diteruskan
ke dalam vena yang memasuki atrium sehingga menimbulkan tahanan terhadap aliran
darah dari tubuh yang masuk ke jantung
Stenosis
Katup Trikuspidalis
Stenosis katup trikuspidalis merupakan
penyempitan lubang katup trikuspidalis yang menyebabkan meningkatnya tahanan
aliran darah dari atrium kanan ke ventrikel kanan. Stenosis katup
trikuspidallis menyebabkan atrium kanan membesar dan ventrikel kanan mengecil.
Jumlah darah yang kembali ke jantung berkurang dan tekanan di dalam vena yang
membawa kembali ke jantung meningkat.
5. Manifestasi klinis
Manifestasi
klinis demam rematik dibedakan menjadi criteria mayor dan criteria minor
a. criteria mayor
·
Karditis
Dapat berupa bising pansistol di daerah apeks, bising
awal diastole di daerah basal dan bising mid-diastol pada apeks yang timbul
akibat adanya dilatasi ventrikel kiri
·
Poliartritis
Poliartritis ditandai oleh adanya nyeri, pembengkakan,
kemerahan, teraba panas, dan keterbatasan gerakan aktif pada dua sendi atau
lebih. Arthritis pada demam rematik paling sering mengenai sendi-sendi besar
anggota gerak bawah. Kelainan ini hanya berlangsung beberapa hari sampai
seminggu pada satu sendi dan kemudian berpindah, sehingga dapat ditemukan
arthritis yang saling tumpang tindih pada beberapa sendi pada waktu yang sama,
sementara tanda-tanda radang mereda pada satu sendi, sendi yang lain mulai
terlibat. Perlu diingat bahwa arthritis yang hanya mengenai satu sendi tidak
dapat dijadikan kriterium mayor. Selain itu, agar dapat digunakan sebagai suatu
kriterium mayor, poliartritis harus disertai sekurang-kurangnya dua criteria
minor, seperti demam dan kenaikan laju endap darah, serta harus didukung oleh
adanya titer ASTO atau antibody antistreptoocus lainnya yang tinggi.
·
Korea sydenham
·
Eritema Marginatum
Eritema Marginatum merupakan wujud kelainan kulit yang
khas pada demam rematik dan tampak sebagai macula yang berwarna merah, pucat
dibagian tengah, tidak terasa gatal, berbentuk bulat atau dengan tepi yang
bergelombang dan meletus secara sentrifugal.
Eritema marginatum juga dikenal sebagai eritema
anulare rematikum dan terutama timbul di daerah badan, pantat, anggota gerak
bagian proksimal, tetapi tidak pernah ditemukan di daerah wajah. Kelianan ini
dapat bersifat sementara atau menetap, berpindah-pindah dari satu bagian tubuh
ke bagian tubuh yang lain, dapat dicetuskan oleh pemberian panas, dan memucat
jika ditekan. Tanda mayor demam rematik ini hanya ditemukan pada kasus yang
berat
·
Nodulus subkutan
Nodulus subkutan pada umumnya hanya dijumpai pada
kasus yang berat dan terdapat di daerah ekstensor persendian, pada kulit kepala
serta kolumna vertebralis. Nodul ini berupa massa yang padat, tidak terasa nyeri, mudah
digerakkan dari kulit diatasnya, dengan diameter dan beberapa millimeter sampai
sekitar 2 cm. tanda ini pada umumnya tidak akan ditemukan jika tidak terdapat
karditis.
b. criteria Minor
Maanifestasi minor pada demam rematik dapat berupa:
·
Demam yang bersifat remiten
Demam pada demam rematik biasanya ringan, meskipun
adakalanya mencapai 39°C, terutama jika terdapat karditis. Manifestasi ini
lazim berlangsung sebagai suatu demam derajat ringan selama beberapa minggu.
Demam merupakan pertanda infeksi yang tidak spesifik, dank arena dapat dijumpai
pada begitu banyak penyakit lain, criteria minor ini tidak memiliki arti
diagnosis banding yang bermakna
·
Riwayat demam rematik sebelumnya
Riwayat demam rematik sebelumnya dapat digunakan
sebagai salah atu criteria minor apabila tercatat dengan baik sebagai suatu
diagnosis yang didasarkan pada criteria obyektif yang sama. Akan tetapi,
riwayat demam rematik atau penyakit jantung rematik inaktif yang pernah diidap
seorang penderita seringkali tidak tercatat secara baik sehingga sulit
dipastikan kebenarannya atau bahkan tidak terdiagnosis.
·
Peningkatan kadar reaktan fase akut
Peningkatan kadar reaktan fase akut berupa kenaikan
laju endap darah, kadar protein C reaktif, serta leukositosis merupakan
indicator nonspesifik dan peradangan atau infeksi
Ketiga tanda reaksi fase akut ini hampir selalu
ditemukan pada demam rematik, keulai jika korea merupakan satu-satunya
manifestasi mayor yang ditemukan. Perlu diingat bahwa laju endap darah juga
meningkat pada kasus anemia dan gagal jantung kongestif. Adapun protein C
reaktif tidak meningkat pada anemia, akan tetapi mengalami kenaikan pada gagal
jantung kongestif. Laju endap darah dan kadar protein C reaktif dapat meningkat
pada semua kasus infeksi, namun apabila protein C reaktif tidak bertambah, maka
kemungkinan adanya infeksi streptokokus akut dapat dipertanyakan.
·
Interval P-R yang memanjang
Interval P-R yang memanjang biasanya menunjukkan
adanya keterlambatan abnormal sistem konduksi pada nodus atrioventrikel dan
meskipun sering dijumpai pada demam rematik, perubahan gambaran EKG ini tidak
spesifik untuk demam rematik. Selain itu interval P-R yang memanjang juga bukan
merupakan pertanda yang memadai akan adanya karditis rematik
·
Artralgia
Adalah rasa nyeri pada satu sendi atau lebih tanpa
disertai peradangan atau keterbatasan gerak sendi. Gejala minor ini harus dibedakan
dengan nyeri pada otot atau jaringan periartikular lainnya atau dengan nyeri
sendi malam hari yang lazim terjadi pada anak-anak normal. Atralgia tidak dapat
digunakan sebagai criteria minor apabila poliartritis sudah dipakai sebagai
criteria mayo
6. Gambaran klinis Demam rematik
Stadium
I
Stadium
ini berupa adanya infeksi saluran napas bagian atas oleh kuman Streptococus
beta-hemolyticus A, dengan keluhan demam, batuk, sakit menelan, kadang disertai
muntah atau diare. Pad pemeriksaan tonsil terdapat eksudat dan tanda-tanda
peradangan lainnya. Infeksi ini biasanya berlangsung 2-4 hari dan dapat sembuh
sendiri tanpa pengobatan. Terjadinya infeksi ini 10-14 hari sebelum serangan
demam rematik
Stadium
II
Disebut
periode laten ialah masa antara infeksi streptokok dengan permulaan gejala
demam rematik. Biasanya dalam waktu 1-3 minggu, kecualikhorea yang timbul dalm
6 minggu atau beberapa bulan kemudian.
Stadium
III
Ialah
fase demam rematik, saat timbulnya pelbagai manifestasi klinik demam rematik.
Gejala tersebut ialah gejala mayor dan minor. Gejala minor berupa gejala
peradangan umum dengan didapatkannya demam tidak begitu tinggi, lesu, lekas
tersinggung, BB menurun, anoreksia. Anemia dijumpai sebagai akibat tertejkannya
sistem eritropoetik, perdarahan dari hidung (epistaksis). Sakit sendi dan
sekitarnya (artralgia) terutama setelah latihan dan menghebat bila dikompres
panas. Terdapat juga keluhan sakit perut yang menjadi berkurang jika diberi
salisilat. Laju endap darah meninggi, protein C-reaktifdan ASTO juga meninggi.
Stadium
IV
Disebut
juga stadium inaktif. Bail pasien DR tanpa kelainan jantung maupun dengan
kelainan jantung rematik tanpa gejala sisa katup tidak menunjukkan gejala
kelainan. Tetapi pasien yang dengan gejala sisa kelainan pada katup jantung,
gejala timbul sesuai dengan kelainannya. Pada fase ini pasien DR dapat
mengalami reaktifitas penyakitnya. Penyakit DR mempunyai beberapa gejala yang
secara garis besar dibagi menjadi gejala mayor dan minor.
7. Patogenesis
Meskipun
pengetahuan tentang penyakit ini serta penelitian terhadap kuman
beta-streptococcus hemolyticus grup A sudah berkembang pesat, namun mekanisme
terjadinya demam reumatik yang pasti belum diketahui, pada streptococcus
diketahui dapat menghasilkan tidak kurang dari 20 produk ekstra sel,
produk-produk tersebut merangsang timbulnya antibodi.
Demam
reumatik diduga merupakan akibat kepekaan tubuh yang berlebihan terhadap
beberapa produk ini. Kaplan mengemukakan hipotesis tentang adanya reaksi silang
antibodi terhadap streptococcus dengan otot jantung yang mempunyai antigen
mirip antigen streptococcus hal inilah yang menyebabkan reaksi autoimun
8. Diagnosis Banding
- Artritis
reumatoid.
- Artritis bakterial.
- Artritis
virus.
- Reaksi alergi.
- Bising
fungsionil.
- Kelainan jantung bawaan.
- Miokarditis
virus
- Miokarditis bakterial lain.
- Lupus
eritematosus sistemik.
9. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada demam reumatik dibagi atas tiga golongan:
1. Golongan
pertama meliputi uji radang jaringan akut, yakni fase akut.
2. Golongan
kedua adalah uji bakteriologi dan serologis yang membuktikan infeksi
streptococcus sebelumnya.
3. Golongan
ketiga meliputi pemeriksaan radiologist elektrokardiografi, dan ekokardiografi
untuk menilai adanya kelainan jantung.
10. Penatalaksanaan
a.
Pencegahan
Langkah awal dalam mencegah serangan awal endokarditis
reumatik adalah mendeteksi adanya infeksi streptococcus untuk penatalaksanaan
yang adekuat dan pemantauan epidemik dan komunitas.
Setiap perawat harus mengenal tanda dan gejala faringitis
streptococcus yaitu: panas tinggi 39, 9-40oC, menggigil, sakit
tenggorokan disertai eksudat, nyeri abdomen.
c. Medik
1. Tirah Baring.
Semua penderita demam reumatik perlu
tirah baring. Lamanya tergantung berat ringannya
penyakit.
Tabel: Tirah baring dan mobilisasi penderita demam reumatik (Taranta
& Markowitz, 1989)
Status Jantung
|
Penatalaksanaan
|
Tanpa Karditis
|
Tirah baring selama 2 minggu dan mobilisasi bertahap
selama 2 minggu
|
Karditis tanpa
Kardiomegali
|
Tirah baring selama 4 minggudan mobilisasi bertahap
selama 4 minggu
|
Karditis dengan
Kardiomegali
|
Tirah baring selama 6 minggu dan mobilisasi bertahap
selama 6 minggu
|
Karditis dengan
gagal jantung
|
Tirah baring selama dalam keadaan gagal jantung
dan mobilisasi bertahap selama 3 bulan
|
2. Eradikasi kuman streptococus
Untuk negara berkembang WHO menganjurkan
penggunaan benzatin penisilin 1,2 juta IM. Bila alergio terhadap penisilin
digunakan eritromisin 20 mg/kg BB 2X sehari
3. Pemberian obat anti radang
Analgesik dan anti-inflamasi
Obat anti radang diberikan untuk menekan gejala radang
akut yang timbul meskipun adanya radang dan perjalanan penyakitnya sendiri
tidak berubah. Oleh karena itu obat anti radang sebaiknya hanya diberikan bila
diagnosis telah ditegakkan.
Tabel: Pedoman pemberian analgetik dan anti-inflamasi
Manifestasi Klinik
|
Pengobatan
|
Artralgia
|
Salisilat saja 75-100 mg/kg
BB/hari
|
Artritis saja, dan/atau karditis tanpa kardiomegali
|
Salisilat saja 100 mg/kg BB/hari selama 2 minggu
dilanjutkan dengan 75 mg/kg BB selama 4-6 minggu.
|
Karditis dengan kardiomegali atau gagal jantung
|
Prednison 2 mg/kg/ BB/hari selama 2 minggu,dikurangi
bertahap selama 2 minggu ditambah salisilat 75 mg/kg BB selama 6 minggu.
|
4.
Pengobatan suportif
Berupa
diet tinggi kalori dan protein serta vitamin (terutama vitamin C) dan
pengobatan terhadap komplikasi. Bila dengan pengobatan medikamentosa saja gagal
perlu dipertimbangkan tindakan operasi pembetulan katup jantung.
DR mempunyai kecenderungan untuk terjadi serangan
berulang, maka perlu diberikan pengobatan pencegahan (profilaksis sekunder),
dengan memberikan benzatin penisilin 1,2 juta IM tiap bulan. Bila tidak mau disuntikan
dapat diganti dengan penisilin oral 2 x 200.000 U/hari. Bila alergi terhadap
obat tersebut dapat diberikan sulfadiazine 1000 mg/hari untuk anak 12 tahun
keatas dan 500 mg/hari untuk anak 12 tahun kebawah. Lama pemberian profilaksis
sekunder bergantung pada ada tidaknya dan beratnya karditis. Bagi yang berada
di dalam lingkungan yang mudah terkena infeksi streptokok dianjurkan pemberian
profilaksis seumur hidup. Keberhasilan pengobatan tersebut sangat bergantung
dari pasien dan orang tuanya. Oleh karena itu, penyuluhan terhadap pasien orang
tua merupakan bagian yang penting terutama penjelasan keadaan pasien dan
ketaatan melaksanakan profilaksis sekunder.
11. Komplikasi
Gagal jantung berat yang diakibatkan bocornya klep jantung
terjadi pada beberapa kasus. Komplikasi lainnya termasuk aritmia jantung,
pankarditis dengan efusi yang luas, pneumonitis rematik, emboli paru, infark
dan kelainan katup jantung.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS
1. Data Dasar Pengkajian Pasien
a.
Identitas: meliputi data identifikasi
pasien meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, alamat
dan identitas penanggung jawab
b.
RKS: Riwayat kesehatan sekarang
pada pada pasien demam reumatik
c.
RKD: Riwayat kesehatan klien dahulu
yang berhubungan dengan penyakit klien saat ini
d.
RKK: Mengkaji pada keluarga apakah
ada yang mempunyai penyakit yang berhubungan dengan penyakit yang dialami klien
saat ini
e.
Pemeriksaan
1. Aktivitas/Istirahat
Gejala : Kelemahan, kelelahan
Pusing
rasa berdenyut
Dispnea
karena kerja Palpasi
Gangguan
tidur
Tanda : Takikardi,
gangguan pada tekanan darah, pingsan karena kerja, takipnea, dispnea.
2. Sirkulasi
Gejala : Serak, hemoptisis,
batuk dengan/tanpa produksi sputum
Tanda : Sistolik
tekanan darah menurun, tekanan nadi: penyempitan (SA): luas (IA)
Nadi karotid: lambat dengan volume
nadi kecil (SA):
Bendungan dengan pulsasi arteri
terlihat (IA)
Nadi apical: PMI kuat dan terletak di
bawah dan ke kiri (IM): secara lateral kuat dan perpindahan tempat (IA)
Getaran: getaran diastolik ada aspek
(SM)
Getaran sistolik pada dasar (SA),
getaran sistolik sepanjang batas sternal kiri, betaran sistolik pada titik
jugular dan sepanjang arteri karotis (IA).
Dorongan: dorongan apikal selama
sistolik (SA)
Bunyi jantung: SI keras, pembukaan
yang keras (SM), bunyi robekan luas.
Kecepatan: takikardi (MLP), takikardi
pada istirahat (SM)
Irama : tak teratur, fibrilasi
atrial, disritmia dan derajat pertama.
3. Integritas
Gejala : Tanda
kecemasan, contoh gelisah, pucat, berkeringat, fokus menyempit, gemetar.
4. Makanan/cairan
Gejala : Disfagia,
perubahan BB, penggunaan diuretik
Tanda : Edema
umum, hepatomegali dan asites, hangat, kemerahan dan kulit lembab, pernapasan
payah dan bising.
5. Neurosensori
Gejala : Pusing/pingsan
berkenaan dengan beban kerja
6. Nyeri/kenyamanan
Gejala : Nyeri
dada, angina
Nyeri dada non angina/tidak khas
7. Pernapasan
Gejala : Dispnea
: batuk menetap atau nocturnal (sputum tidak produktif).
Tanda : Takipnea,
bunyi napas adventisus, sputum banyak dan bercak darah, gelisah/ketakutan (pada
adanya edema pulmonal)
8. Keamanan
Gejala : Proses
infeksi, kemoterapi radiasi, adanya perawatan gigi/mulut.
9. Penyuluhan/pembelajaran
Gejala : Penggunaan
obat IV baru/kronis
Pertimbangan:
DRG menunjukkan rerata dirawat 4-9 hari
Rencana:
bantuan dengan kebutuhan perawatan diri
Pemulangan:
perubahan dalam terapi obat.
10.
Pemeriksaan
Diagnostik
MUGA:
Menentukan fraksi ejeksi ventrikel istirahat dan latihan
Kateterisasi
jantung: memberikan informasi diagnostik
Ventrikulografi
kiri: digunakan untuk mendemonstrasikan prolaps katup mitral
Echocardiography:
dua dimensi dan ekokardiografi dopller dapat memastikan masalah katup.
2. Prioritas Keperawatan
1.
Mempertahankan curah jantung
adekuat.
2.
Mempertahankan dan meningkatkan
toleransi aktivitas
3.
Menghilangkan/mengontrol nyeri
4.
Memberikan informasi tentang proses
penyakit, manajemen dan pencegahan komplikasi.
3. Diagnosis yang Mungkin Muncul
1.
Penurunan curah jantung berhubungan
dengan peningkatan tekanan atrium dan kongesti vena.
2.
Nyeri berhubungan dengan iskemia
jaringan miokard
3.
Resiko cidera berhubungan dengan
gerakan koreik
BAB IV
TINJAUAN KASUS
Pengkajian
Tanggal masuk: 17 Oktober 2010
1.
Identitas Diri Klien
Nama : An. A
TTL : Bengkulu, 11 April 2002
Umur : 8
Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Jl.
Timur Indah
Status Perkawinan : -
Agama : Islam
Suku : Serawai
Pendidikan : -
Lama Bekerja : -
Sumber Informasi : Ibu
Keluarga terdekat yang dapat segera
dihubungi (Ibu)
Nama : Ny. Y
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Jl.
Timur Indah
2.
Status Kesehatan
a.
Keluhan utama
Pasien mengeluh sakit waktu menelan, demam, lesu, tidak nafsu
makan, batuk, muntah, diare, sendi terasa sakit, nyeri di bagian dada.
b.
Riwayat kesehatan dahulu
Keluarga mengatakan bahwa klien pernah menderita infeksi
endokarditis sejak 1 tahun lalu.
c.
Riwayat kesehatan keluarga
Keluarga mengatakan tidak ada anggota keluarga yang menderita
demam reumatik.
3.
Pemeriksaan Kebutuhan Sehari-hari
a.
Pola Nutrisi
Frekuensi : 2 x sehari
BB : 38 kg
Makanan yang disukai : Snack,
chiki
Makanan yang tidak disukai : nasi,
sayur, buah
Makanan pantan : -
b.
Pola eliminasi
1)
Buang Air Besar
Frekuensi : 1-2 x sehari
Warna : Kuning
kecoklatan
Konsistensi : Lunak
2)
Buang air kecil
Frekuensi : 6-7 x sehari
Waktu : Pagi, malam,
siang
Warna : Kuning jernih
Bau : Khas
c.
Pola istirahat dan tidur
Waktu tidur : Jam 9 malam s/d
jam 4.30 pagi
Lama tidur : 6 jam
Kesulitan tidur : Tidak
ada
d.
Pola aktivitas
Pekerjaan : Belajar
Kegiatan waktu luang : Bermain
Kesulitan : Mudah merasa
lelah saat melakukan aktivitas
Sendi
terasa sakit saat pergerakan
e.
Aspek psikososial
1)
Pola komunikasi
Bahasa utama : Bahasa Bengkulu
Bahasa sehari-hari : Bahasa
Bengkulu
Pola komunikasi : Baik
2)
Pertahanan koping
Pengambilan keputusan dibantu orang
lain.
f.
Sistem kepercayaan
Kegiatan agama yang dilakukan :
sholat dan mengaji
Kegiatan yang dilakukan selama di
RS : shalat
4.
Pengkajian fisik
a.
Kepala
Bentuk : Simetris
Keluhan : -
Pusing : -
b.
Mata
Ukuran pupil : Simetris
Reaksi terhadap cahaya : Baik
Akomodasi : -
Bentuk : Simetris
Konjungtiva : Anemis
Fungsi penglihatan : Baik
c.
Hidung
d.
Mulut dan tenggorokan
Pernafasan
Suara paru : Bergerum
Pola nafas : Teratur
Sputum : Normal
Analisa
Data
No
|
Tgl/ Jam
|
Data Senjang
|
Penyebab
|
Masalah
|
1
|
DS :
§ Klien mengatakan dadanya terasa sakit
§ Klien mengatakan tubuhnya terasa lesu
§ Klien mengatakan tubuhnya terasa panas dingin
seperti demam
DO :
§ Klien terlihat memegang dadanya sambil meringis
kesakitan
§ Klien terlihat pucat dan lesu
§ Klien dispnea
§ TTV :
TD : 100/70 mmHg
N : 60 x / menit
S : 38,7oC
R : 24 x / menit
|
Peningkatan tekanan atrium dan
kongesti vena
|
Penurunan curah jantung
|
|
2
|
DS :
§ Klien mengatakan dadanya terasa sakit
§ Klien mengeluh saat menelan
§ Klien mengatakan sendinya nyeri
DO :
§ Klien kesakitan waktu sendinya digerakkan
§ Klien terlihat kesakitan di saat menelan
§ Klien memegangi dadanya sambil kesakitan
§ Klien terlihat meringis kesakitan
|
Iskemia jaringan miokard
|
Nyeri
|
Perencanaan
No
|
Diagnosa
|
Tujuan
|
Kriteria Hasil
|
Intervensi
|
Rasional
|
1
|
Penurunan curah jantung berhubungan
dengan peningkatan tekanan atrium dan kongesti vena
|
Penurunan curah jantung dapat teratasi
|
Menunjukkan penurunan dispnea
|
§ Pantau TD, nadi apikal, nadi perifer
§ Pantau irama jantung
§ Tingkatkan dorongan tirah baring dengan kepala
tempat tidur ditinggikan 45 derajat
§ Bantu dengan aktivitas sesuai indikasi, misal :
berjalan bila pasien mampu turun dari tempat tidur
§ Diskusikan teknik manajemen stress
§ Berikan O2 suplemen sesuai indikasi,
pantau DGA/nadi oksimetri
§ Berikan obat-obatan sesuai indikasi, misal : anti
disritmia obat isotropik vasodilator, diuretik.
|
§ Indikator klinis dari keadekuatan curah jantung
§ Disritmia umum pada pasien dengan penyakit katup
§ Menurunkan volume darah yang kembali ke jantung
yang memungkinkan on sigensi menurunkan dispnea, dan regangan jantung.
§ Melakukan kembali aktivitas secara bertahap
mencegah pemeriksaan terhadap cadangan jantung.
§ Reduksi ansietas dapat menurunkan jantung simpatis
dan beban kerja jantung
§ Memberikan O2 untuk ambilan miokard
dalam upaya mengkompensasi peningkatan kebutuhan O2.
§ Pengobatan disritmia atrial/ventrikuler khususnya
mendasari kondisi dan simtomatologi.
|
2
|
Nyeri berhubungan dengan iskemia
jaringan miokard
|
Nyeri dapat teratasi
|
§ Menurunnya rasa nyeri dada
§ Menurunnya rasa nyeri sendi
§ Menurunnya nyeri waktu menelan
|
§ Selidiki laporan nyeri dada dan bandingkan dengan
episode sebelumnya, gunakan skala nyeri (0-10) untuk rentang intensitas,
catat ekskresi verbal nyeri respon otomatis terhadap nyeri
§ Berikan lingkungan istirahat dan batasi aktivitas
sesuai kebutuhan
§ Anjurkan pasien berespon tepat terhadap angina
§ Berikan vasodilator, contoh : nitrogliserin
nifedipin sesuai indikasi.
|
§ Perbedaan gejala perlu untuk mengidentifikasi
penyebabnya, perilaku dan perubahan pada vital, membantu menentukan derajat
adanya ketidak nyamanan pasien khususnya bila pasien menolak adanya nyeri
§ Aktivitas yang meningkatkan kebutuhan O2
miokardia.
§ Penghentian aktivitas menurunkan kebutuhan O2
dan kerja jantung dan sering menghentikan angina
§ Obat diberikan untuk meningkatkan sirkulasi
miokardia, menurunkan angina sehubungan dengan iskemia miokardia.
|
Implementasi
Keperawatan
No
|
Diagnosa
|
Tindakan Keperawatan
|
Paraf
|
1
|
Penurunan curah jantung berhubungan
dengan peningkatan tekanan atrium dan kongesti vena
|
§Memantau TD, nadi apikal, nadi perifer (jam 9), 17 Oktober 2010
§Memantau tekanan jantung sesuai indikasi (jam 10.00 Wib), 17 Oktober
2010
§Meninggikan kepala 45o guna tirah baring pasien (jam 10.30
wib), 17 Oktober 2010
§Membantu aktivitas pasien sesuai indikasi, misal : berjalan (11.00 wib)
17 Oktober 2010
§Mendemonstrasikan teknik manajemen stress (jam 12.00 wib) 17 Oktober
2010
§Memberikan O2 suplemen sesuai indikasi (jam 01.00 wib) 17
Oktober 2010
§Memberikan obat-obat sesuai indikasi (jam 02.00 wib) 17 Oktober 2010
|
|
2
|
Nyeri berhubungan dengan iskemia
jaringan miokard
|
§Mengatasi nyeri (jam 08.00 wib) 17 Oktober 2010
§Mengevaluasi respon terhadap obat (09.00 Wib) 17 Oktober 2010
§Memberikan lingkungan istirahat dan batasi sesuai kebutuhan (jam 10.00
Wib), 17 Oktober 2010
§Menganjurkan pasien berespon tepat terhadap angina (jam 11.00 Wib) 17
Oktober 2010
§Memberikan vasodilator sesuai indikasi (01.00 Wib) 17 Oktober 2010
|
Evaluasi
No
|
Hari/Tgl
|
Evaluasi
|
Paraf
|
1
|
17-19
Oktober 2010
|
Pukul 11.00 Wib
S : - Klien mengatakan tidak lesu lagi
- Klien
mengatakan tubuhnya tidak panas dingin lagi
- Klien
mengatakan dadanya tidak sakit lagi.
O : - Klien tidak terlihat pucat dan lesu lagi
- Klien
tidak dispnea lagi
- Klien
tidak meringis kesakitan lagi
- TTV
:
TD : 120/80 mmHg
N : 80 x / menit
S : 37oC
A : Masalah
teratasi
P : Intervensi
dihentikan
|
|
2
|
17-21
Oktober 2010
|
Pukul : 01.00 Wib
S : - Klien mengatakan tidak sakit lagi waktu
menelan
- Klien
mengatakan sendi-sendinya tidak nyeri lagi
- Klien
mengatakan dadanya tidak sakit lagi
O : - Klien tidak meringis kesakitan lagi
- Klien
tidak kesakitan lagi waktu menelan
- Klien
tidak kesakitan lagi waktu sendinya digerakkan
- TTV
:
TD : 120/80 mmHg
RR : 24 x / menit
S : 37oC
N : 80 x / menit
A : Masalah
teratasi
P : Intervensi
dihentikan
|
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
1.
Demam reumatik ialah sindrom klinis
sebagai akibat infeksi beta streptococcus hemolyticus grup A.
2.
Faktor-faktor predisposisi yang
berpengaruh pada timbulnya demam reumatik, yaitu faktor genetik, jenis kelamin,
golongan etnik dan ras, umur, keadaan gizi, dll
3.
Kemungkinan besar demam reumatik
akut ditunjukkan dengan adanya 2 kriteria mayor dan kriteria minor.
5.2. Saran
Diharapkan kepada para pembaca khususnya mahasiswa/i
STIKES Tri Mandiri Sakti Bengkulu dapat memahami konsep teori asuhan
keperawatan demam reumatik.
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito-moyet,
Lynda juall. 2006. Buku Saku Diagnosis
Keperawatan Ed. 10. Jakarta : EGC
Doenges, Marilynn, E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC.
Hasan, Rusepno, 2005. IKA. Jakarta : Fakultas Kedokteran UI.
Mansjoer,
Arif, dkk. 2000. Kapita Selekta
Kedokteran Jilid 2. Jakarta :
Media Aesculapius
Price,
Sylvia. A. 2006. Patofisiologi. Jakarta : EGC.
No comments:
Post a Comment