Tempat Berbagi Informasi Kesehatan dan Keperawatan

MAKALAH KEPERAWATAN ANAK ASUHAN KEPERAWATAN PADA IRDS

MAKALAH
KEPERAWATAN ANAK
ASUHAN KEPERAWATAN PADA (IRDS)
idiopatic respiratory distress syndrome 
BAB II
Salah satu yang akan dibahas dalam makalah ini adalah idiopatic respiratory distress syndrome (IRDS) atau disebut juga penyakit membran hialin (PMH).

Syndrome distress pernapasan adalah perkembangan yang imatur pada sistem pernapasan atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru. RDS dikatakan sebagai hyaline membrane disease (HMD) (Suriadierita Yulianni, 2006).


Sindrom gawat napas (respiratory distress syndrome, RDS) adalah istilah yang digunakan untuk disfungsi pernapasan pada neonatus (Asrining Surasmi, dkk, 2003).
RDS adalah penyakit paru yang akut dan berat, terutama menyerang bayi-bayi preterm, hal ini dapat terlihat pada 3% sampai 5% bayi-bayi cukup bulan (Donna L. Wong, 2003).

1.1.    Etiologi
RDS sering ditemukan pada bayi prematur. Insidens berbanding terbalik dengan usia kehamilan dan berat badan. Artinya semakin muda usia kehamilan ibu. Semakin tinggi kejadian RDS pada bayi tersebut. Sebaliknya semakin tua usia kehamilan, semakin rendah kejadian RDS (Asrining Surasmi, dkk, 2003).
PMH ini 60-80% terjadi pada bayi yang umur kehamilannya kurang dari 28 minggu, 15-30% pada bayi antara 32 dan 36 minggu, sekitar 5% pada bayi yang lebih dari 37 minggu dan jarang pada bayi cukup bulan. Kenaikan frekuensi dihubungkan dengan bayi dari ibu diabetes, persalinan sebelum umur kehamilan 37 minggu, kehamilan multi janin, persalinan seksio sesaria, persalinan cepat, asfiksia, stress dingin dan adanya riwayat bahwa bayi sebelumnya terkena, insidens tertinggi pada bayi preterm laki-laki atau kulit putih (Nelson, 1999).
1.2.    Patofisiologi
Bayi prematur lahir dengan kondisi paru yang belum siap sepenuhnya untuk berfungsi sebagai organ pertukaran gas yang efektif. Hal ini merupakan faktor kritis dalam terjadinya RDS. Ketidaksiapan paru menjalankan fungsinya tersebut terutama disebabkan oleh kekurangan atau tidak adanya surfaktan.
Surfaktan adalah substansi yang merendahkan tegangan permukaan alveolus sehingga tidak terjadi kolaps pada akhir ekspirasi dan mampu memohon sisa udara fungsional (kapasitas residu fungsional ) (Ilmu Kesehatan Anak, 1985). Surfaktan juga menyebabkan ekspansi yang merata dan jarang ekspansi paru pada tekanan intraalveolar yang rendah. Kekurangan atau ketidakmatangan fungsi sufaktan menimbulkan ketidakseimbangan inflasi saat inspirasi dan kolaps alveoli saat ekspirasi tanpa surfaktan, janin tidak dapat menjaga parunya tetap mengembang. Oleh karena itu, perlu usaha yang keras untuk mengembangkan parunya pada setiap hembusan napas (ekspirasi), sehingga untuk bernapas berikutnya dibutuhkan tekanan negatif intratoraks yang lebih besar dengan disertai usaha inspirasi yang lebih kuat. Akibatnya, setiap kali perapasan menjadi sukar seperti saat pertama kali pernapasan (saat kelahiran). Sebagai akibatnya, janin lebih banyak menghabiskan oksigen untuk menghasilkan energi ini daripada ia terima dan ini menyebabkan bayi kelelahan. Dengan meningkatnya kekelahan, bayi akan semakin sedikit membuka alveolinya, ketidakmampuan mempertahankan pengembangan paru ini dapat menyebabkan atelektasis.
Tidak adanya stabilitas dan atelektasis akan meningkatkan pulmonary vaskular resistem (PVR) yang nilainya menurun pada ekspansi paru normal. Akibatnya, terjadi hipoperfusi jaringan paru dan selanjutnya menurunkan aliran darah pulmonal. Di samping itu, peningkatan PVR juga menyebabkan pembalikan parsial sirkulasi, darah janin dengan arah aliran dari kanan ke kiri melalui duktus arteriosus dan foramen ovale.
Kolaps paru (atelektasis) akan menyebabkan gangguan vektilisasi pulmonal yang menimbulkan hipoksia. Akibat dari hipoksia adalah kontraksi vaskularisasi pulmonal yang menimbulkan penurunan oksigenasi jaringan dan selanjutnya menyebabkan metabolisme anaerobik. Metabolisme anaerobik menghasilkan timbunan asam laktat sehingga terjadi asidosis metabolik pada bayi dan penurunan curah jantung yang menurunkan perfusi ke organ vital. Akibat lain adalah kerusakan endotel kapiler dan epitel duktus alveolus yang menyebabkan terjadinya transudasi ke dalam alveoli dan terbentuknya fibrin. Fibrin bersama-sama dengan jaringan epitel yang nekrotik membentuk suatu lapisan yang disebut membran hialin. Membran hialin ini melapisi alveoli dan menghambat pertukaran gas.
Atelektasis menyebabkan paru tidak mampu mengeluarkan karbon dioksida dari sisa pernapasan sehingga terjadi asidosis respiratorik. Penurunan pH menyebabkan vasokonstriksi yang semakin berat. Dengan penurunan sirkulasi paru dan perfusi alveolar, PaO2 akan menurun tajam, pH juga akan menurun tajam, serta materi yang diperlukan untuk produksi surfaktan tidak mengalir ke dalam alveoli.
Sintesis surfaktan dipengaruhi sebagian oleh pH, suhu dan perfusi normal, asfiksia, hipoksemia dan iskemia paru terutama dalam hubungannya dengan hipovolemia, hipotensi dan stress dingin dapat menekan sintesis surfaktan. Lapisan epitel paru dapat juga terkena trauma akibat kadar oksigen yang tinggi dan pengaruh penatalaksanaan pernapasan yang mengakibatkan penurunan surfaktan lebih lanjut (Asrining Surasmi, dkk, 2003).
Secara singkat dapat diterangkan bahwa dalam tubuh terjadi lingkaran setan yang terdiri dari : atelektasis à hipoksia à asidosis à transudasi à penurunan aliran darah paru à hambatan pembentukan substansi surfaktan à atelektasis. Hal ini akan berlangsung terus sampai terjadi penyembuhan atau kematian bayi (Staf Pengajar IKA, FKUI, 1985)
1.4.    Manifestasi Klinis
Penyakit membran hialin ini mungkin terjadi pada bayi prematur dengan berat badan 100-2000 gram atau masa gestasi 30-36 minggu. Jarang ditemukan pada bayi dengan berat badan lebih dari 2500 gram. Sering disertai dengan riwayat asfiksia pada waktu lahir atau tanda gawat bayi pada akhir kehamilan. Tanda gangguan pernapasan mulai tampak dalam 6-8 jam pertama. Setelah lahir dan gejala yang karakteristik mulai terlihat pada umur 24-72 jam. Bila keadaan membaik, gejala akan menghilang pada akhir minggu pertama.
Gangguan pernapasan pada bayi terutama disebabkan oleh atelektasis dan perfusi paru yang menurun. Keadaan ini akan memperlihatkan gambaran klinis seperti dispnea atau hiperpneu, sianosis karena saturasi O2 yang menurun dan karena pirau vena-arteri dalam paru atau jantung, retraksi suprasternal, epigastrium, interkostal dan respiratory grunting. Selain tanda gangguan pernapasan, ditemukan gejala lain misalnya bradikardia (sering ditemukan pada penderita penyakit membran hialin berat), hipotensi, kardiomegali, pitting oedema terutama di daerah dorsal tangan/kaki, hipotermia, tonus otot yang menurun, gejala sentral dapat terlihat bila terjadi komplikasi (Staf Pengajar IKA, FKUI, 1985).

1.5.    Pemeriksaan Diagnostik
1.      Gambaran radiologis
Diagnosis yang tepat hanya dapat dibuat dengan pemeriksaan foto rontgen toraks. Pemeriksaan ini juga sangat penting untuk menyingkirkan kemungkinan penyakit lain yang diobati dan mempunyai gejala yang mirip penyakit membran hialin, misalnya pneumotoraks, hernia diafragmatika dan lain-lain. Gambaran klasik yang ditemukan pada foto rontgen paru ialah adanya bercak difus berupa infiltrate retikulogranuler ini, makin buruk prognosis bayi. Beberapa sarjana berpendapat bahwa pemeriksaan radiologis ini dapat dipakai untuk mendiagnosis dini penyakit membran hialin, walaupun manifestasi klinis belum jelas.
2.      Gambaran laboratorium
Kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan laboratorium diantaranya adalah :
a.     Pemeriksaan darah
Kadar asam laktat dalam darah meninggi dan bila kadarnya lebih dari 45 mg%, prognosis lebih buruk, kadar bilirubin lebih tinggi bila dibandingkan dengan bayi normal dengan berat badan yang sama. Kadar PaO2 menurun disebabkan kurangnya oksigenasi di dalam paru dan karena adanya pirau arteri-vena. Kadar PaO2 meninggi, karena gangguan ventilasi dan pengeluaran CO2 sebagai akibat atelektasis paru. pH darah menurun dan defisit biasa meningkat akibat adanya asidosis respiratorik dan metabolik dalam tubuh.
b.    Pemeriksaan fungsi paru
Pemeriksaan ini membutuhkan alat yang lengkap dan pelik, frekuensi pernapasan yang meninggi pada penyakit ini akan memperhatikan pula perubahan pada fungsi paru lainnya seperti ‘tidal volume’ menurun, ‘lung compliance’ berkurang, functional residual capacity’ merendah disertai ‘vital capacity’ yang terbatas. Demikian pula fungsi ventilasi dan perfusi paru akan terganggu.
c.     Pemeriksaan fungsi kardiovaskuler
Penyelidikan dengan kateterisasi jantung memperhatikan beberapa perubahan dalam fungsi kardiovaskuler berupa duktus arteriosus paten, pirau dari kiri ke kanan atau pirau kanan ke kiri (bergantung pada lanjutnya penyakit), menurunnya tekanan arteri paru dan sistemik.
3.      Gambaran patologi/histopatologi
Pada otopsi, gambaran dalam paru menunjukkan adanya atelektasis dan membran hialin di dalam alveolus dan duktus alveolaris. Di samping itu terdapat pula bagian paru yang mengalami enfisema. Membran hialin yang ditemukan yang terdiri dari fibrin dan sel eosinofilik yang mungkin berasal dari darah atau sel epitel ductus yang nekrotik.

1.6.    Penatalaksanaan
1.      Penatalaksanaan medik tindakan yang perlu dilakukan
a.       Memberikan lingkungan yang optimal, suhu tubuh bayi harus selalu diusahakan agar tetap dalam batas normal (36,5o-37oC) dengan cara meletakkan bayi dalam inkubator. Kelembaban ruangan juga harus adekuat (70-80%).
b.      Pemberian oksigen. Pemberian oksigen harus dilakukan dengan hati-hati karena berpengaruh kompleks terhadap bayi prematur. Pemberian O2 yang terlalu banyak dapat menimbulkan komplikasi seperti : fibrosis paru, kerusakan retina (fibroplasias retrolental), dll.
c.       Pemberian cairan dan elektrolit sangat perlut untuk mempertahankan homeostasis dan menghindarkan dehidrasi. Pada permulaan diberikan glukosa 5-10% dengan jumlah yang disesuaikan dengan umur dan berat badan ialah 60-125 ml/kg BB/hari. asidosis metabolik yang selalu dijumpai harus segera dikoreksi dengan memberikan NaHCO3 secara intravena.
d.      Pemberian antibiotik. Bayi dengan PMH perlu mendapatkan antibiotik untuk mencegah infeksi sekunder. Dapat diberikan penisilin dengan dosis 50.000-100.000 u/kg BB/hari atau ampisilin 100 mg/kg BB/hari, dengan atau tanpa gentamisin 3-5 mg/kg BB/hari.
e.       Kemajuan terakhir dalam pengobatan pasien PMH adalah pemberian surfaktan eksogen (surfaktan dari luar), obat ini sangat efektif, namun harganya amat mahal.
2.      Penatalaksanaan keperawatan
Bayi dengan PMH adalah bayi prematur kecil, pada umumnya dengan berat badan lahir 1000-2000 gram dan masa kehamilan kurang dari 36 minggu. Oleh karena itu, bayi ini tergolong bayi berisiko tinggi. Apabila menerima bayi baru lahir yang demikian harus selalu waspada bahaya yang dapat timbul. Masalah yang perlu diperhatikan ialah bahaya kedinginan (dapat terjadi cold injury), risiko terjadi gangguan pernapasna, kesuakran dalam pemberian makanan, risiko terjadi infeksi, kebutuhan rasa aman dan nyaman (kebutuhan psikologik) (Ngastiyah, 2005).

1.7.    Pencegahan
Faktor yang dapat menimbulkan kelainan ini ialah pertumbuhan paru yang belum sempurna karena itu salah satu cara untuk menghindarkan penyakit ini ialah mencegah kelainan bayi yang maturitas parunya belum sempurna. Maturitas paru dapat dikatakan sempurna bila produksi dan fungsi surfaktan telah berlangsung baik. Gluck (1971) memperkenalkan suatu cara untuk mengetahui maturitas paru dengan menghitung perbandingan antara lesitin dan sfingomielin dalam cairan amnion. Bila perbandingan lesitin/sfingomielin sama atau lebih dari 2, bayi yang akan lahir tidak akan menderita penyakit membran hialin, sedangkan bila perbandingan tadi kurang dari 2 berarti paru bayi belum matang dan akan mengalami penyakit membran hialin. Pemberian kortikosteroid oleh beberapa sarjana dianggap dapat merangsang terbentuknya surfaktan pada janin. Penelitian mengenai hal ini masih terus dilakukan saat ini. Cara yang paling efektif untuk menghindarkan penyakit ini ialah mencegah prematuritas dan hal ini tentu agar sulit dikerjakan pada beberapa komplikasi kehamilan tertentu.

1.8.    Komplikasi
1.      Pneumotoraks / pneumomediastinum
2.      Pulmonary interstitial dysplasia
3.      Patent ductus arteriosus (PDA)
4.      Hipotensi
5.      Asidosis
6.      Hiponatermi / hipernatremi
7.      Hipokalemi
8.      Hipoglikemi
9.      Intraventricular hemorrhage
10.  Retinopathy pada prematur
11.  Infeksi sekunder
(Suriadi dan Yuliani, 2006).

1.9.      Prognosis
Penyakit membran hialin prognosisnya tergantung dari tingkat prematuritas dan beratnya penyakit. Prognosis jangka panjang untuk semua bayi yang pernah menderita penyakit ini sukar ditentukan. Mortalitas diperkirakan antara 20-40% (Scopes, 1971).




BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
(RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME = RDS)


3.1.   Pengkajian
1.      Identitas klien
Meliputi nama, jenis kelamin, suku bangsa, tanggal lahir, alamat, agama, tanggal pengkajian.
2.      Riwayat kesehatan
a.   Riwayat maternal
Menderita penyakit seperti diabetes mellitus, kondisi seperti perdarahan plasenta, tipe dan lamanya persalinan, stress fetal atau intrapartus.
b.   Status infant saat lahir
Prematur, umur kehamilan, apgar score (apakah terjadi asfiksia), bayi lahir melalui operasi caesar.
3.      Data dasar pengkajian
a.       Cardiovaskuler
§  Bradikardia (< 100 x/i) dengan hipoksemia berat
§  Murmur sistolik
§  Denyut jantung DBN
b.      Integumen
§  Pallor yang disebabkan oleh vasokontriksi peripheral
§  Pitting edema pada tangan dan kaki
§  Mottling
c.       Neurologis
§  Immobilitas, kelemahan
§  Penurunan suhu tubuh
d.      Pulmonary
§  Takipnea (> 60 x/i, mungkin 30-100 x/i)
§  Nafas grunting
§  Pernapasan cuping hidung
§  Pernapasan dangkal
§  Retraksi suprasternal dan substernal
§  Sianosis
§  Penurunan suara napas, crakles, episode apnea
e.       Status behavioral
§  Letargi
4.      Pemeriksaan Doagnostik
a.       Sert rontgen dada : untuk melihat densitas atelektasi dan elevasi diafragma dengan over distensi duktus alveolar
b.      Bronchogram udara : untuk menentukan ventilasi jalan napas
c.       Data laboratorium :
§  Profil paru, untuk menentukan maturitas paru, dengan bahan cairan amnion (untuk janin yang mempunyai predisposisi RDS)
§  Lesitin/spingomielin (L/S) ratio 2 : 1 atau lebih mengindikasikan maturitas paru
§  Phospatidyglicerol : meningkat saat usia gestasi 35 minggu
§  Tingkat phospatydylinositol
§  AGD : PaO2 < 50 mmHg, PaCO2 > 50 mmHg, saturasi oksigen 92%-94%, pH 7,3-7,45.
§  Level potassium : meningkat sebagai hasil dari release potassium dari sel alveolar yang rusak.

3.2.   Analisa Data
No
Data
Etiologi
Masalah
1
DO :
-    Hiperkapnea
-    Hipoksia
-    Takipnea
-    Sianosis
-    Letargi
-    Dispnea
-    GDA abnormal
-    Pucat

Surfaktan
ê
Tegangan permukaan alveolus
ê
Ketidakseimbangan infasi saat inspirasi
ê
Kolaps alveoli
ê
Gangguan ventilasi pulmonal















Kerusakan pertukaran gas
2
DO :
-    Dispnea; takipnea
-    Periode apnea
-    Pernapasan cuping hidung
-    Retraksi dinding dada
-    Sianosis
-    Mendengkur
-    Napas grunting
-    Kelelahan

Surfaktan menurun
ê
Janin tidak dapat menjaga rongga paru tetap
Mengembang
ê
Usaha inspirasi lebih kuat
ê
-      Sukar bernapas
-      Dispnea
-      Retraksi dinding dada
-      Kelelahan
-      Pernapasan cuping hidung





Pola napas tidak efektif
3
DO :
-    Hipotermia
-    Letargi
-    Menangis buruk
-    Aterosianosis
-    Takipnea; apnea
-    Turgor kulit buruk
-    Hipoglikemia

Metabolisme anaerob
ê
Timbunan asam laktat
Asidosis metabolik
ê
Kurangnya cadangan glikogen dan lemak coklat
ê
Respons menggigil pada bayi kurang/tidak ada
ê
Bayi kehilangan panas tubuh/tidak dapat meningkatkan panas tubuh
 




Termoregulasi tidak efektif
4
DO :
-    Bradikardia
-    Sianosis umum
-    Pucat
-    Hipotensi
-    Dispnea
-    Edema perifer
-    Lelah
-    Murmur sistolik

Kolaps paru
ê
Gangguan ventilasi pulmonal
ê













Risiko tinggi penurunan curah jantung
3.3.   Diagnosa Keperawatan
1.      Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakadekuatan kadar surfaktan, ketidakseimbangan perfusi ventilasi.
2.      Pola napas tidak efektif berhubungan dengan penurunan energi/kelelahan, keterbatasan pengembangan otot.
3.      Termoregulasi tidak efektif berhubungan dengan penurunan lemak subkutan, peningkatan upaya pernapasan sekunder akibat RDS.
4.      Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan metabolisme akibat stress.
5.      Risiko tinggi infeksi yang berhubungan dengan prosedur invasif.
6.      Risiko tinggi penurunan curah jantung berhubungan dengan gangguan ventilasi pulmonal
7.      Risiko tinggi cidera berhubungan dengan gangguan perfusi ke otak, gangguan fungsi serebral.
8.      Kekurangan volume cairan berhubungan dengan metabolisme yang meningkat.
9.      Kecemasan orang tua berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang kondisi bayinya.



No
Diagnosa Keperawatan
Tujuh
Kriteria Hasil
Intervensi
Rasional
1
Pertukaran gas, kerusakan berhubungan dengan ketidak seimbangan perfusi ventilasi ketidakadekuatan kadar surfaktan dan stress dingin
Setelah dilakukan intervensi selama 3 x 24 jam diharapkan pertukaran gas adekuat
§ Sianosis (-)
§ Bayi tampak tenang
§ Sesak (-)
§ Ronchi (-)
§ RR 30-60 x/i
§ GDA DBN
§ PaCO2 : 35-45 mmHg
§ PaO2 : 50-70 mmHg
§ pH : 7,35-7,45
§ Nadi : 120-140 x/i
Mandiri :
§ Perhatikan usia gestasi, berat badan dan jenis kelamin






§ Kaji status pernapasan, perhatikan tanda-tanda distress pernapasan (misal takipnea, pernapasan cuping hidung, mengorok, retraksi, ronki atau krekels)












§ Gunakan pemantau oksigen transkutan atau oksimeter nadi. Catat kadar setiap jam, ubah sisi alat setiap 3-4 jam.


§ Hisap hidung dan orofaring dengan hati-hati, sesuai kebutuhan. Batasi waktu obstruksi jalan napas dengan kateter 5-12 detik. Observasi pemantau oksigen transkutan atau oksimeter nadi sebelum dan selama penghisapan. Berikan kantung ventilasi setelah penghisapan.
§ Pertahankan kenetralan suhu dengan suhu tubuh pada 97,7oF (dalam 0,5oF)


§ Pantau masukan dan saluran cairan : timbang berat badan sesuai indikasi berdasarkan protokol.






§ Tingkatkan istirahat : minimalkan rangsangan dan penggunaan energi.
§ Observasi terhadap tanda dan lokasi sianosis.





Kolaborasi :
Pantau pemeriksaan laboratorium, dengan tepat :
§ Grafik seri GDA





§ Hb/Ht









§ Tinjau ulang seri sinar-sinarnya

§ Berikan oksigen, sesuai kebutuhan dengan masker, kap selang endotrakeal atau ventilasi mekanik dengan menggunakan tekanan jalan napas positif konstan (CPAP) dan ventilasi mendatar intermiten (imv) atau pernapasan tekanan positif intermitten (IPPB) dan tekanan ekspirasi aktif positif (PEEP).




§ Pantau jumlah pemberian oksigen dan durasi pemberian



§ Aspirasi isi lambung untuk tes shake






§ Berikan makanan dengan selang nasogastrik atau orogastrik sebagai pengganti pemberian makan dengan ASI bila tepat.

Berikan obat-obatan sesuai indikasi :
§ Natrium bikarbonat






§ Surfaktan (artificial atau eksogen)

§ Neonatus lahir sebelum gestasi minggu ke 30 dan/atau berat badan kurang dari 1500 g berisiko tinggi terhadap terjadinya RDS. Selain itu, pria dua kali rentannya dari pada wanita (catatan : mayoritas kematian berhubungan dengan RDS terjadi pada bayi dengan berat badan kurang dari 1500 g).
§ Takipnea menandakan distress pernapasan, khususnya bila pernapasan lebih besar dari 60 x/menit setelah 5 jam pertama kehidupan. Pernapasan mengorok menunjukkan upaya untuk mempertahankan ekspansi alveolar, pernapasan cuping hidung adalah mekanisme kompensasi untuk menambah diameter hidung dan meningkatkan masukan oksigen. Krekels/ronki dapat menandakan vasokontriksi pulmonary yang berhubungan dengan PDA, hipoksemia, asidemia, atau imaturitas otot ateriol, yang gagal untuk konstruksi sebagai respon terhadap peningkatan kadar oksigen.
§ Memberikan pemantauan non invansif konstan terhadap kadar oksigen (catatan : insufisiensi pulmonary biasanya memburuk selama 24-48 jam pertama, kemudian mencapai plateu).
§ Mungkin perlu untuk mempertahankan kepatenan jalan napas, khususnya pada bayi yang menerima ventilasi terkontrol.




§ Stressnya meningkatkan konsumsi oksigen bayi, dapat meningkatkan asidosis dan selanjutnya kerusakan produksi surfaktan.
§ Dehidrasi merusak kemampuan untuk membersihkan jalan nafas saat mukus menjadi kental. Hidrasi berlebihan dapat memperberat infiltrate alveolar/edema pulmonal. Penurunan berat badan dan peningkatan saluran urin dapat menandakan fase diuretic dari RDS biasanya mulai pada 72-96 jam dan mendahului resolusi kondisi.
§ Menurunkan laju metaoblik dan konsumsi oksigen.
§ Sianosis adalah tanda lanjut dari PaO2 rendah dan tidak tampak sampai ada sedikit lebih dari 3 g/dl penurunan Hb pada darah arteri sentral atau 4-6 g/dl pada darah kapiler atau sampai saturasi oksigen hanya 75%-85% dengan kadar PO2 42 sampai 41 mmHg.



§ Hipoksemia, hiperkapnea dan asidosis menurunkan produksi surfaktan, kadar PaO2 harus 50 sampai 70 mmHg atau lebih tinggi kadar PaCO2 harus sampai 35-45 mmHg dan oksigen harus sampai 92% sampai 94%.
§ Penurunan simpanan besi pada kelahiran, pengulangan pengambilan sampel darah, pertumbuhan cepat dan episode hemoragis meningkatkan kemungkinan bahwa bayi preterm akan anemic sehingga menurunkan kapasitas pembawa oksigen darah (catatan : pemberian sel kemasan mungkin perlu untuk menggantikan darah yang diambil untuk pemeriksaan laboratorium)
§ Atelektasis, kongesti, bronkogram udara menunjukkan terjadinya RDS.
§ Hipoksemia dan asidemia dapat berlanjut menurunkan produksi surfaktan, meningkatkan tahanan vaskular pulmonal dan vasokontriksi dan menyebabkan duktus arteriosus tetap terbuka. Imaturitas hipotalamus dapat memerlukan bantuan ventilasi untuk mempertahankan pernapasan. Penggunaan PEEP dapat menurunkan kolaps jalan napas, meningkatkan pertukaran gas dan menurunkan kebutuhan oksigen tingkat tinggi.
§ Kadar oksigen serum tinggi yang lama disertai dengan tekanan tinggi yang lama diakibatkan dari IPPB dan PEEP (barotraumas) dapat mempredisposisikan bayi pada dysplasia bronkopolmunal
§ Memberikan informasi yang segera akan ada tau tidak adanya surfakan, surfakan yang perlu untuk meningkatkan ekspansi normal dan elastisitas alveoli, biasnaay tidak ada dalam kuantitas yang cukup sampai gestasi minggu ke 32 sampai ke 33.
§ Menurunkan kebutuhan oksigen, meningkatkan istirahat menghemat energi dan menurunkan risiko aspirasi karena perkembangan refleks yang buruk.

§ Bila tindakan meningkatkan frekuensi pernapasan atau memperbaiki ventilasi tidak cukup untuk memperbaiki asidosis, penggunaan natrium bikarbonat yang hati-hati dapat membantu mengembalikan pH ke dalam rentang normal.
§ Mungkin diberikan pada kelahiran atau setelah diagnosis RDS untuk menurunkan beratnya kondisi dan komplikasi yang berhubungan, efek dapat berakhir sampai 72 jam.

2
Pola pernapasan tidak efek berhubungan dengan keterbatasan perkembangan otot  penurunan  energi/kelelahan
Setelah dilakukan intervensi selama 3 x 24 jam diharapkan pola napas efektif
§ Sianosis (-)
§ GDH DBN
§ Bayi tampak tenang
§ Apnea (-)
§ Pernapasan efektif
§ Tidak pucat
Mandiri :
§ Kaji frekuensi pernapasan dan pola pernapasan, perhatikan adanya apena dan perubahan frekuensi jantung, tonus otot dan warna kulit berkenaan dengan prosedur atau perawatan, lakukan pemantauan jantung pernapasan atau/dan pernapasan yang kontinu.
§ Hisap jalan napas sesuai kebutuhan

§ Tinjau ulang riwayat ibu terhadap obat-obatan yang dapat memperberat depresi pernapasan pada bayi.
§ Posisikan bayi pada abdomen atau posisi telentang dengan gulungan popok di bawah baku untuk menghasilkan sedikit hiperekstensi
§ Pertahankan suhu tubuh optimal.


§ Berikan rangsang taktil yang segera (misal : gosokan punggung bayi) bila terjadi apnea, perhatikan adanya sianosis, bradikardia atau hipotania, anjurkan kontak orang tua.

§ Tempat bayi pada matras bergelombang.


Kolaborasi :
§ Pantau pemeriksaan laboratorium (misal GDA, glukosa serum, elektrolit, kultur dan kadar obat), sesuai indikasi




§ Berikan oksigen sesuai indikasi


§ Berikan obat-obatan sesuai indikasi :
-          Natrium bikarbonat
-          Antibiotik
-          Kalsium glukonat

-          Aminofilin



Mandiri :
§ Pankuromium bromide


§ Larutan glukosa


§ Membantu dalam membedakan periode perputaran pernapasan normal dari serangan apneik sejati, yang terutama sering terjadi sebelum gestasi minggu ke 30.


§ Menghilangkan mukus yang menyumbat jalan napas.
§ Magnesium sulfat dan narkotik menekan pusat pernapasan dan aktivitas ssp.

§ Posisi ini dapat memudahkan pernapasan dan menurunkan episode apneik, khususnya pada adanya hipoksia, asidosis metabolik atau hiperkapnia.
§ Bahkan hanya sedikit peningkatan atau penurunan suhu lingkungan dapat menimbulkan apnea.
§ Merangsang ssp untuk meningkatkan gerakan tubuh dan kembali pernapasan spontan. Kadang-kadang bayi mengalami kejadian apnea lebih sedikit atau tidak ada atau bradikardia bila orang tua menyentuh dan bicara pada mereka.
§ Gerakan memberikan rangsangan, yang dapat menunjukkan kejadian apneik.


§ Hipoksia, asidosis metaoblik, hiperkapnia, hipoglikemia, hipokalsemia dan sepsis dapat memperberat serangan apneik, toksisitas obat yang menekan fungsi pernapasan dapat terjadi karena keterbatasan ekskresi dan waktu paruh obat yang lama.
§ Perbaikan kadar oksigen dan karbondioksida dapat meningkatkan fungsi pernapasan.

§ Memperbaiki asidosis
§ Mengatasi infeksi pernapasan atau sepsis
§ Hipokalsemi mempredisposisikan bayi pada apnea.
§ Dapat meningkatkan aktivitas pusat pernapasan dan menurunkan sensitivitas terhadap karbondioksida, menurunkan frekuensi apnea.

§ Mengakibatkan relaksasi otot rangka yang mungkin perlu bila bayi secara mekanis terventilasi.
§ Mencegah hipoglikemia (rujuk pada DK : nutrisi, perubahan kurang dari kebutuhan tubuh, risiko tinggi terhadap).

3
Termoregulasi tidak efektif berhubungan dengan penurunan lemak subkutan, peningkatan upaya pernapasan sekunder akibat RDS
Setelah dilakukan intervensi selama 3 x 24 jam diharapkan termoregulasi efektif
§ Suhu tubuh stabil (36,5-37oC)
§ Sianosis (-)
§ Bradikardia (-)
§ Hipoglikemia (-)
§ Apnea (-)
§ TTV DBN :
TD : 50 mmHg (sekreta)
RR : 30-60 x/i
N : 120-140 x/i

Mandiri :
§ Kaji suhu dengan sering, periksa suhu rectal pada awalnya, selanjutnya periksa suhu aksila atau gunakan alat thermostat dengan dasar terbuka dengan penyebar hangat. Ulangi setiap 15 menit selama penghangatan ulang.

§ Tempatkan bayi pada penghangat, isolette, inkubator, tempat tidur terbuka dengan penyebar hangat atau tempat tidur bayi terbuka dengan pakaian tempat untuk bayi yang lebih besar atau lebih tua.
§ Gunakan lampu pemanas selama prosedur, tutup penyebar hangat atau bayi dengan penutup plastik atau kertas alumunium bila tepat.
§ Kurangi pemajanan pada aliran udara, hindari pembukaan pagar isolette yang tidak semestinya.
§ Ganti pakaian atau linen tempat tidur bila basah. Pertahankan kepala bayi tetap tertutup
§ Pantau sistem pengatur suhu, penyebar hangat atau inkubator (pertahankan batas akan pada 98,6oF, tergantung pada ukuran atau usia bayi)


§ Pertahankan kelembaban relatif 50%-80% oksigen lembab hangat 88oF-93oF (31oC-34oC).
§ Perhatikan adanya takipnea atau apnea, sianosis umum, akrosianosis atau kulit belang, bradikardia, menangis buruk atau letargi, evaluasi derajat dan lokasi ikterik.

§ Berikan penghangatan bertahap untuk bayi dengan stress dingin

§ Kaji saluran dan berat jenis urin



§ Pantau penambahan berat badan berturut-turut bila penambahan berat badan tidak adekuat, tingkatkan suhu lingkungan sesuai indikasi


§ Pantau suhu bayi bila keluar dari lingkungan hangat. Berikan informasi tentang termoregulasi kepada orang tua.

§ Perhatikan perkembangan takikardia, warna kemerahan, diaphoresis, letargi, apnea, koma atau aktivitas kejang.

Kolaborasi :
§ Pantau pemeriksaan laboratorium, sesuai indikasi (misal : GDA, glukosa serum, elektrolit dan kadar bilirubin)










§ Berikan obat sesuai indikasi :
Natrium bikarbonat

§ Hipotermia cenderung membuat bayi pada stress dingin penggunaan simpanan lemak coklat yang tidak dapat diperbaharui bila ada dan penurunan. Sensitivitas untuk meningkatkan kadar karbondioksida (hiperkapnia) atau penurunan kadar oksigen (hipoksia)
§ Mempertahankan lingkungan termonetral membantu mencegah stress dingin.




§ Menurunkan kehilangan panas pada lingkungan yang lebih dingin dari ruangan.

§ Menurunkan kehilangan panas karena konveksi/konduksi membatasi kehilangan panas melalui radiasi.
§ Menurunkan kehilangan melalui evaporasi.

§ Hipertermia dengan akibat peningkatan pada laju metabolisme kebutuhan oksigen, dan glukosa dan kehilangan air tidak kasat mata dapat terjadi bila suhu lingkungan yang dapat dikontrol, terlalu tinggi.
§ Mencegah evaporasi berlebihan, menurunkan kehilangan cairan tidak kasat mata.
§ Tanda-tanda ini menandakan stress dingin, yang meningkatkan konsumsi oksigen dan kalori serta membuat bayi cenderung pada asidosis berkenaan dengan metabolisme anaerobik.
§ Peningkatan suhu tubuh yang cepat dan dapat menyebabkan konsumsi oksigen berlebihan dan apnea.
§ Penurunan haluaran dan peningkatan berat jenis urine dihubungkan dengan penurunan persuasi ginjal selama periode stress dingin.
§ Ketidakadekuatan penambahan berat badan meskipun masukan kalori adekuat dapat menandakan bahwa kalori digunakan untuk mempertahankan suhu tubuh, memerlukan peningkatan suhu lingkungan.
§ Kontak di luar tempat tidur, khususnya dengan orang tua mungkin singkat saja, bila dimungkinkan, untuk mencegah stress dingin.
§ Tanda-tanda hipertermia ini (suhu tubuh lebih besar dari 99oF (37,7oC) dapat berlanjut pada kerusakan otak bila tidak teratasi.

§ Stress dingin meningkatkan kebutuhan terhadap glukosa dan oksigen serta dapat mengakibatkan masalah asam basa bila bayi mengalami metabolisme anaerobik, bila kadar oksigen yang cukup tidak tersedia peningkatan kadar bilirubin indirek dapat terjadi karena pelepasan asam lemak dari metabolisme lemak coklat, dengan asam lemak bersaing dengan bilirubin pada bagian ikatan di albumin, asidosis metabolik dapat juga terjadi pada hipertermia.

§ Memperbaiki asidosis yang dapat terjadi pada hipotermia dan hipertermia.





BAB IV
PENUTUP

4.1.   Kesimpulan
1.      Sindrom distress pernapasan adalah perkembangan yang imatur pada sistem pernapasan atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru. RDS dikatakan sebagai hyaline membrane disease (HMD) (Suriadi dan Rita Yuliani, 2006).
2.      RDS sering ditemukan pada bayi prematur. Insidens berbanding terbalik dengan usia kehamilan dan berat badan. Artinya semakin muda usia kehamilan ibu semakin tinggi kejadian RDS pada bayi tersebut. Sebaliknya semakin tua usia kehamilan semakin rendah kejadian RDS (Asrining Surasmi, dkk, 2003).
3.      Asuhan keperawatan pada IRDS ini meliputi : pengkajian, analisa data diagnosa keperawatan, intervensi dan implementasi, adapun diagnosa yang muncul antara lain : kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakadekuatan kadar surfaktan, ketidakseimbangan perfusi ventilasi, pola napas tidak efektif berhubungan dengan penurunan energi/kelelahan, keterbatasan pengembangan otot. Termoregulasi tidak efektif berhubungan dengan penurunan lemak subkutan, peningkatan upaya pernapasan sekunder akibat RDS. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan metabolisme akibat stress.
4.2.   Saran
1.      Pencegahan prematuritas, termasuk menghindarkan seksio sesaria yang tidak perlu atau kurang sesuai waktu perlu dilakukan untuk mengurangi terjadinya IRDS pada bayi
2.      Bayi yang mengalami IRDS perlu mendapatkan tindakan yang cepat dan tepat guna menghindari terjadinya mortalitas pada bayi.
3.      Peningkatan pengetahuan terhadap perawat dan orang tua perlu dilakukan untuk membantu penanganan pada bayi dengan IRDS.



DAFTAR PUSTAKA

Doenges dan Moorhouse. 2001. Rencana Perawatan Maternal/Bayi : Pedoman untuk  Perencanaan dan Dokumentasi Perawatan Klien. Edisi 2. Jakarta : EGC.

Nelson. 1999. Ilmu Kesehatan Anak. Volume I. Edisi 15. Jakarta : EGC.

Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit. Edisi 2. Jakarta : EGC.

Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 1985. Buku Kuliah 3. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran UI.

Surasmi, A, dkk. 2003. Perawatan Bayi Risiko Tinggi. Jakarta : EGC.

Suriadi & Yuliani. 2006. Buku Pegangan Praktik Klinik. Asuhan keperawatan pada Anak Edisi 2. Jakarta : Sagung Seto.

Wong L. Donna. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Jakarta : EGC.

No comments:

Post a Comment