BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pengertian Infeksi Neonatus di
negeri kita masih merupakan masalah yang gawat.Di Jakarta terutama di RSCM,infeksi merupakan
10-15% dari morbiditas perinatal.
Tetanus neonatorum lebih sering di
temukan pada BBLR.Infeksi lebih sering di temukan pada bayi yang lahir di rumah
sakit di bandingkan dengan bayi yang lahir di luar rumah sakit. Dalam hal ini tidak
termasuk bayi yang lahir di luar rumah sakit dengan cara septik.Bayi baru lahir
mendapat imunitas trans plasenta terhadap kuman yang berasal dari
ibunya.Sesudah lahir bayi terpapar pada kuman yang berasal bukan saja dari
ibunya tetapi juga berasal dari ibu lain.Terhadap kuman yang disebut terakhir
ini bayi tidak mempunyai imunitas.(Ilmu Kesehatan Anak3,Fakultas Kedokteran UI)
Infeksi neonatus(bayi baru
lahir)sering dijumpai terutama tetanus neonatorum, apalagi di daerah pedesaan
dengan persalinan dukun beranak.Menghadapi keadaan demikian bidan harus mampu
mengatasi dan segera melakukan rujukan sehingga bayi mendapat pengobatan yang
cepat dan tepat.(Ilmu Kebidanan,Penyakit Kandungan dan KB)
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Untuk
mengetahui dan memahami konsep dasar dan Asuhan Keperawatan tetanus neonatorum
1.2.2 Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui konsep dasar teori tetanus neonatorum
b. Untuk mengetahui konsep dasar
asuhan keperawatan tetanus neonatorum meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan
dan intervensi keperawatan
1.3 Manfaat
Dapat
memberikan pengetahuan dan wawasan tentang tetanus neonatorum serta ketrampilan
dalam pembuatan asuhan keperawatan khususnya pada pokok bahasan tetanus
neonatorum.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1 DEFINISI
Tetanus berasal dari kata tetanos
(Yunani) yang berarti peregangan. Penyakit tetanus pada bayi baru lahir dengan
tanda klinik yang khas, setelah 2 hari pertama bayi hidup, menangis dan menyusu
secara normal, pada hari ketiga atau lebih timbul kekakuan seluruh tubuh yang
ditandai dengan kesulitan membuka mulut dan menetek, disusul dengan
kejang–kejang (WHO, 1989).
Kejang yang sering di jumpai pada
BBL, yang bukan karena trauma kelahiran atau asfiksia, tetapi disebabkan oleh
infeksi selama masa neonatal, yang antara lain terjadi sebagai akibat
pemotongan tali pusat atau perawatannya yang tidak bersih Ngastijah, 1997).
2.2.
ETIOLOGI
Penyebab
tetanus neonatorum adalah clostridium tetani yang merupakan kuman gram positif, anaerob, bentuk batang dan ramping.
Kuman tersebut terdapat ditanah, saluran pencernaan manusia dan hewan. Kuman
clostridium tetani membuat spora yang tahan lama dan menghasilkan 2 toksin
utama yaitu tetanospasmin dan tetanolysin.
2.3.
PATOFISIOLOGI
Spora
yang masuk dan berada dalam lingkungan anaerobic berubah menjadi bentuk
vegetatif dan berbiak sambil menghasilkan toxin. Dalam jaringan yang anaerobic
ini terdapat penurunan potensial oksidasi reduksi jaringan dan turunnya tekanan
oxigen jaringan akibat adanya nanah, nekrosis jaringan, garam kalsium yang
dapat diionisasi. Secara intra axonal toxin disalurkan ke sel saraf (cel body)
yang memakan waktu sesuai dengan panjang axonnya dan aktifitas serabutnya.
Belum terdapat perubahan elektrik dan fungsi sel saraf walaupun toksin telah
terkumpul dalam sel. Dalam sungsum belakang toksin menjalar dari sel saraf
lower motorneuron ke lekuk sinaps dan diteruskan ke ujung presinaps dari spinal
inhibitory neurin. Pada daerah inilah toksin menimbulkan gangguan pada
inhibitory transmitter dan menimbulkan kekakuan.
Efek Toxin pada
:
·
Ganglion pra sumsum
tulang belakang :
Memblok
sinaps jalur antagonist, mengubah keseimbangan dan koordinasi impuls sehingga
tonus ototnya meningkat dan otot menjadi kaku. Terjadi penekanan pada
hiperpolarisasi membran dari neurons yang merupakan mekanisme yang umum terjadi
bila jalur penghambat terangsang. Depolarisasi yang berkaitan dengan jalur
rangsangan tidak terganggu. Toksin menyebabkan hambatan pengeluaran inhibitory
transmitter dan menekan pengaruh bahan ini pada membran neuron motorik.
·
Otak :
Toxin
yang menempel pada cerebral gangliosides diduga menyebabkan gejala kekakuan dan
kejang yang khas pada tetanus. Hambatan antidromik akibat rangsangan kortikal
menurun.
·
Saraf otonom :
Terutama
mengenai saraf simpatis dan menimbulkan gejala keringat yang berlebihan,
hiperthermia, hypotensi, hypertensi, arytmia cardiac block atau takhikardia.
Sekalipun otot yang terkena adalah otot bergaris terutama otot penampang dan
penggerak tubuh yang besar-besar, pada tetanus berat otot polos juga ikut
terkena, sehingga timbul manifestasi klinik seperti disebutkan diatas.
2.4.
MANIFESTASI
KLINIS
Gejala
klinik pada tetanus neonatorum sangat khas sehingga masyarakat yang primitifpun
mampu mengenalinya sebagai “penyakit hari kedelapan” (Jaffari, Pandit dan
Ismail 1966). Anak yang semula menangis, menetek dan hidup normal, mulai hari
ketiga menunjukan gejala klinik yang bervariasi mulai dari kekakuan mulut dan
kesulitan menetek, risus sardonicus sampai opistotonus. Trismus pada tetanus
neonatorum tidak sejelas pada penderita anak atau dewasa, karena kekakuan otot
leher lebih kuat dari otot masseter, sehingga rahang bawah tertarik dan mulut
justru agak membuka dan kaku (Athvale, dan Pai, 1965, Marshall, 1968). Bentukan
mulut menjadi mecucu (Jw) seperti mulut ikan karper. Bayi yang semula kembali
lemas setelah kejang dengan cepat menjadi lebih kaku dan frekuensi
kejang-kejang menjadi makin sering dengan tanda-tanda klinik kegagalan nafas
(Irwantono, Ismudijanto dan MF Kaspan 1987). Kekakuan pada tetanus sangat
khusus : fleksi pada tangan, ekstensi pada tungkai namun fleksi plantar pada
jari kaki tidak tampak sejelas pada penderita anak.
Kekakuan
dimulai pada otot-otot setempat atau trismus kemudian menjalar ke seluruh
tubuh, tanpa disertai gangguan kesadaran. Seluruh tubuh bayi menjadi kaku,
bengkok (flexi) pada siku dengan tangan dikepal keras keras. Hipertoni menjadi
semakin tinggi, sehingga bayi dapat diangkat bagaikan sepotong kayu. Leher yang
kaku seringkali menyebabkan kepala dalam posisi menengadah.
Gambaran Umum pada
Tetanus
·
Trismus (lock-jaw,
clench teeth)
Adalah
mengatupnya rahang dan terkuncinya dua baris gigi akibat kekakuan otot
mengunyah (masseter) sehingga penderita sukar membuka mulut. Untuk menilai
kemajuan dan kesembuhan secara klinik, lebar bukaan mulut diukur tiap hari.
Trismus pada neonati tidak sejelas pada anak, karena kekakuan pada leher lebih
kuat dan akan menarik mulut kebawah, sehingga mulut agak menganga. Keadaan ini
menyebabkan mulut “mecucu” seperti mulut ikan tetapi terdapat kekakuan mulut
sehingga bayi tak dapat menetek.
·
Risus Sardonicus
(Sardonic grin)
Terjadi
akibat kekakuan otot-otot mimic dahi mengkerut mata agak tertutup sudut mulut
keluar dan kebawah manggambarkan wajah penuh ejekan sambil menahan kesakitan
atau emosi yang dalam.
·
Opisthotonus
Kekakuan
otot-otot yang menunjang tubuh : otot punggung, otot leher, trunk muscle dan
sebagainya. Kekakuan yang sangat berat menyebabkan tubuh melengkung seperti
busur, bertumpu pada tumit dan belakang kepala. Secara klinik dapat dikenali
dengan mudahnya tangan pemeriksa masuk pada lengkungan busur tersebut.
Pada
era sebelum diazepam, sering terjadi komplikasi compression fracture pada
tulang vertebra.Otot dinding perut kaku, sehingga dinding perut seperti papan.
Selain otot didnding perut, otot penyangga rongga dada juga kaku, sehingga
penderita merasakan keterbatasan untuk bernafas atau batuk. Setelah hari kelima
perlu diwaspadai timbulnya perdarahan paru (pada neonatus) atau
bronchopneumonia.
Bila
kekakuan makin berat, akan timbul kejang-kejang umum, mula-mula hanya terjadi
setelah penderita menerima rangsangan misalnya dicubit, digerakkan secara
kasar, terpapar sinar yang kuat dan sebagainya, lambat laun “masa istirahat”
kejang makin pendek sehingga anak jatuh dalam status convulsivus.
·
Pada tetanus yang berat
akan terjadi :
Gangguan
pernafasan akibat kejang yang terus-menerus atau oleh karena spasme otot larynx
yang bila berat menimbulkan anoxia dan kematian.Pengaruh toksin pada saraf
otonom akan menyebabkan gangguan sirkulasi (akibat gangguan irama jantung
misalnya block, bradycardi, tachycardia, atau kelainan pembuluh
darah/hipertensi), dapat pula menyebabkan suhu badan yang tinggi (hiperpireksia)
atau berkeringat banyak hiperhidrosis).
Kekakuan
otot sphincter dan otot polos lain seringkali menimbulkan retentio alvi atau
retention urinae.Patah tulang panjang (tulang paha) dan fraktur kompresi tulang
belakang.
2.5.
DIAGNOSA
BANDING DAN KOMPLIKASI
1)
Diagnosa
Pemeriksaan
laboratorium : Liquor Cerebri normal, hitung leukosit normal atau sedikit
meningkat. Pemeriksaan kadar elektrolit darah terutama kalsium dan magnesium,
analisa gas darah dan gula darah sewaktu penting untuk dilakukan.
Pemeriksaan radiologi : Foto
rontgen thorax setelah hari ke-5.
2)
Diagnosa
Banding
Meningitis, Meningoenchepalitis,
Enchepalitis, Tetani. Karena hipocalsemia atau hipomagnesemia, Trismus karena
process lokal
3)
Komplikasi
1) Bronkhopneumonia
2) Asfiksia
3) Sepsis
Neonatorum
2.6.
FAKTOR
RESIKO DAN PENCEGAHAN
A.
Faktor
resiko
Tetanus
neonatorum terjadi pada masa perinatal, antara umur 0 sampai 28 hari, terutama
pada saat luka puntung tali pusat belum kering, sehingga spora C. tetani dapat
mencemari dan berbiak menjadi kuman vegetatif.
Menurut
Foster, (1983) serta Sub Dinas PPM Propinsi Jawa Timur, (1989) terdapat 5
faktor resiko pokok tetanus neonatorum yaitu :
a) faktor
resiko pencemaran lingkungan fisik dan biologik,
b) faktor cara pemotongan tali pusat,
c) faktor cara perawatan tali pusat,
d) faktor kebersihan pelayanan persalinan
e) faktor kekebalan ibu hamil.
1) Faktor
Risiko Pencemaran Lingkungan Fisik dan Biologik.
Merupakan
faktor yang menentukan kepadatan kuman dan tingginya tingkat pencemaran spora
di lingkungannya. Risiko akan hilang bila lahan pertanian dan peternakan diubah
penggunaannya.
2) Faktor
Cara Pemotongan Tali Pusat
Penggunaan
sembilu, pisau cukur atau silet untuk memotong tali pusat tergantung pada
pengertian masyarakat akan sterilitas. Setelah dipotong, tali pusat dapat disimpul
erat-erat atau diikat dengan benang. Penolong persalinan biasanya lebih
memusatkan perhatian pada ”kelahiran” plasenta dan perdarahan ibu.
3) Faktor
Cara Perawatan Tali Pusat
Tata
cara perawatan perinatal sangat berkaitan erat dengan hasil interaksi antara
tingkat pengetahuan, budaya, ekonomi masyarakat dan adanya pelayanan kesehatan
di lingkungan sekitarnya. Masyarakat di banyak daerah masih menggunakan
daun-daun, ramuan, serbuk abu dan kopi untuk pengobatan luika puntung tali
pusat. Kebiasaan ini tidak dapat dihilangkan hanya dengan pendidikan dukun bayi
saja.
4) Faktor
Kebersihan Pelayanan Persalinan
Merupakan
interaksi antara kondisi setempat dengan tersedianya pelayanan kesehatan yang
baik di daerah tersebut yang menentukan subyek penolong persalinan dan
kebersihan persalinan. Untuk daerah terpencil yang belum terjangkau oleh
pelayanan persalinan yang higienis maupun daerah perkotaan yang biaya
persalinannya tak terjangkau oleh masarakat, peranan dukun bayi (terlatih atau
tidak) maupun penolong lain sangatlah besar. Pelatihan dukun bayi dapat
menurunkan kematian perinatal namun tidak berpengaruh pada kejadian tetanus
neonatorum.
Masih
banyak ibu yang tidak memeriksakan kehamilannya (25 sampai 60%) dan lebih
banyak lagi yang persalinannya tidak ditolong oleh tenaga medis (70%) sehingga
resiko tetanus neonatorum bagi bayi lahir di Indonesia besar.
5) Faktor
Kekebalan Ibu Hamil
Merupakan
faktor yang sangat penting. Antibodi antitetanus dalam darah ibu hamil yang
dapat disalurkan pada bayinya dapat mencegah manifestasi klinik infeksi dengan
kuman C. tetani (Suri, dkk,1964). Suntikan tetanus toksoid 1 kalipun dapat
mengurangi kematian tetanus neonatorum dari 70-78 per 1000 kelahiran hidup
menjadi 40 per 1000 kelahiran hidup (Newell, 1966, Black, 1980, Rahman, 1982).
B.
Pencegahan
Tindakan
pencegahan bahkan eliminasi terutama bersandar pada tindakan menurunkan atau
menghilangkan factor-faktor resiko. Meskipun banyak faktor resiko yang telah
dikenali dan diketahui cara kerjanya, namun tidak semua dapat dihilangkan,
misalnya lingkungan fisik dan biologik. Menekan kejadian tetanus neonatorum
dengan mengubah lingkungan fisik dan biologik tidaklah mudah karena manusia
memerlukan daerah pertanian dan peternakan untuk produksi pangan mereka.
Pendekatan
pengendalian lingkungan dapat dilakukan dengan mengupayakan kebersihan
lingkungan yang maksimal agar tidak terjadi pencemaran spora pada proses
persalinan, pemotongan dan perawatan tali pusat. Mengingat sebagian besar
persalinan masih ditolong oleh dukun, maka praktek 3 bersih, yaitu bersih
tangan, alat pemotong tali pusat dan alas tempat tidur ibu (Dep. Kesehatan,
1992), serta perawatan tali pusat yang benar sangat penting dalam kurikulum
pendidikan dukun bayi. Bilamana attack rate tak dapat diturunkan dan penurunan
faktor risiko persalinan serta perawatan tali pusat memerlukan waktu yang lama,
maka imunisasi ibu hamil merupakan salah satu jalan pintas yang memungkinkan
untuk ditempuh.
Pemberian
tokoid tetanus kepada ibu hamil 3 kali berturut-turut pada trimester ketiga dikatakan
sangat bermanfaat untuk mencegah tetanus neonatorum. Pemotongan tali pusat
harus menggunakan alat yang steril dan perawatan tali pusat selanjutnya.
2.7.
PENATALAKSAAN
Penatalaksanaan ditujukan pada
perawatan yang baik untuk mencegah dan menghilangkan kejang, mengikat toksin
yang masih bereda, pemberian antibiotika terhadap infeksi.
a) Perawatan.
1. Sebaiknya
bayi dirawat oleh perawat yang cukup berpengalaman, perbandingan 1 perawat 1
bayi.
2. Ruangan
harus tenang dan penerangan harus di kurangi agar rangsangan timbulnya kejang
berkurang.
3. Saluran
pernapasan harus dalam keadaan bersih.
4. Harus
selalu tersedia zat asam di berikan apabila bayi mengalami sianosis atau apneu
pada waktu ada kejang.
5. Pemberian
makan harus melalui selang, melalui inpus, atau perenteral.
6. Pemberian
makan harus hati-hati dengan memakai pipet yang terbuat dari karet.
7. Diberikan
cairan intravena dengan lantan glukosa 5% dan Nacl fisiologi dengan
perbandingan 4 : 1 selama 48-78 ja. Selanjutnya IUFD hanya memasukan obat, jika
pasientelah di rawat lebih dari 24 jam atau pasien sering kejang, di beri
lantan glukosa 10% dan natrium bikarbonat 1,5% dalam perbandingan 4 :1, bila
setelah 72 jam bayi belum mungkin di beri minum per orak, melalui infus di beri
tambahan protein dan kalium.
8. ATS
1000 untuk per hari, di beri selama 2 hari berturut-turut dengan ini per inpus
di berikan 2000 untuk sekaligus.
9. Ampisilin
100mg/kgbb/hari atau di bagi selama 2 dosis, intravena selama 10 hari, bila
pasien menjadi sepsis pengobatan sepsis lainnya.
10. Tali
pusat di bersihkan/ di kompres dengan alkohol 80% atau betadin 10%.
11. Mengatur
keseimbangan cairan dan elektrolit.
12. Merawat
dan membersihkan luka sebaik-baiknya.
13. Diet
cukup kalori dan protein, beri makanan tergantung kemampuan mulut dan menela,
bila ada PUS maka makanan dapat di berikan secara parenteral
b) Pemberian
obat-obatan.
1. Anti tetanus.
Tetanus imun globulin (TIG) lebih dianjurkan
pemakaiaannya di bandingkan anti tetanus serum (ATS) hewan.
Dosis (TIG)yang di anjurkan adalah 5000 v intramuskular
yang di anjurkan dengan dosis harian 5000-6000 v pemberian TIG tidak mungkin
ATS dapat di berikan dengan dosis intramuskular dari 5000v.
2 . Pemberian anti toksin.
Untuk mengikat toksin yang masih bebas dapat di beri
ATS dengan dosis 10000 satuan setiap hari selama 2 hari.
3.
Pemberian antibiotikum.
Untuk mengatasi infeksi dapat di gunakan penisilin
200.000 satuan setiap hari di teruskan sampai 3 hari sesudah panas turun.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS
3.1.
PENGKAJIAN
1. Identitas
pasien
Nama, umur, jenis kelamin, alamat, nama orang tua,
pekerjaan orang tua, pendidikan orang tua, ( tetanus neonatorum menyerang pada
semua jenis kelamin dan semua umur)
2. Riwayat
Keperawatan : antenatal, intranatal, postnatal.
3. Pemeriksaan
Fisik
a. Keadaan
Umum : Lemah, sulit menelan, kejang
b. Kepala
: Poisi menengadah, kaku kuduk, dahi mengkerut, mata agak tertutup, sudut mulut
keluar dan kebawah.
c. Mulut
: Kekakuan mulut, mengatupnya rahang, seperti mulut ikan.
d. Dada
: Simetris, kekakuan otot penyangga rongga dada, otot punggung.
e. Abdomen
: Dinding perut seperti papan.
f. Kulit
: Turgor kurang, pucat, kebiruan.
g. Ekstremitas
: Flexi pada tangan, ekstensi pada tungkai, hipertoni sehingga bayi dapat
diangkat bagai sepotong kayu.
4. Pemeriksaan
Persistem
a. Respirasi
: Frekuensi nafas, penggunaan otot aksesori, bunyi nafas, batuk-pikel.
b. Kardiovaskuler
: Frekuensi, kualitas dan irama denyut jantung, pengisian kapiler, sirkulasi,
berkeringat, hiperpirexia.
c. Neurologi
: Tingkat kesadaran, reflek pupil, kejang karena rangsangan.
d. Gastrointestinal
: Bising usus, pola defekasi, distensi
e. Perkemihan
: Produksi urine
f. Muskuloskeletal
: Tonus otot, pergerakan, kekakuan.
3.2.
ANALISA
DATA
NO
|
DATA
SENJANG
|
ETIOLOGI
|
MASALAH
|
1.
|
DS:
DO:
·
Nafas bayi Nampak
sesak 70x/menit
·
Bayi tampak lemah
·
Nafas tidak teratur
·
Bernafas menggunakan
otot diafragma
|
spasme
otot pernapasan dan laring
|
Gangguan pemenuhan O2
|
2
|
DS:
DO:
·
Bayi terasa panas
·
Suhu tubuh bayi 38,5oC
·
Bayi tampak rewel dan
gelisah
·
Bayi menangis
·
Tali pusat tampak
merah
dan odema
|
proses
infeksi tali pusat
|
Gangguan suhu tubuh
|
3
|
DS:
DO:
·
Bayi tidak bias
menyusu
·
Berat badan
menurun< 2-3 kg
·
Mulut mencucu seperti
ikan
|
kesulitan
menelan
|
Gangguan pemenuhan
nutrisi
|
4
|
DS:
DO:
·
Tidak ada respon
tubuh bayi terhadap rangsangan dari luar
·
Terdapat odema pada
mata bayi
|
episthotonus
|
Resti gangguan
penglihatan
|
5
|
DS:
DO:
·
Tubuh bayi tampak
kaku dan agak melengkung
·
Bayi menangis saat di
tekan pada daerah fracture
|
kekakuan
otot mimik
|
Resti
fracture tulang belakang
|
3.3.
DIAGNOSA
KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL
1. Gangguan
pemenuhan kebutuhan oksigen berhubungan dengan spasme otot pernapasan dan
laring yang ditandai dengan asfiksia
2. Gangguan
suhu tubuh berhubungan dengan proses infeksi tali pusat yang ditandai dengan
peningkatan suhu tubuh (38,7 0C)
3. Gangguan
pemenuhuan nutrisi berhubungan dengan kesulitan menelan.
4. Resti
fracture tulang belakang berhubungan dengan episthotonus
5. Resti
gangguan penglihatan berhubungan dengan kekakuan otot mimic
3.4.
NCP
( NURSING CARE PLANING)
NO
|
DIAGNOSA
|
TUJUAN DAN KRITERIA
HASIL
|
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
1.
|
Gangguan pemenuhan kebutuhan oksigen berhubungan
dengan spasme otot pernapasan dan laring yang ditandai dengan asfiksia
|
Setelah dilakukan inter
Vensi keperawatan selama 3x24 jam ganguan
pemenuhan oksigen teratasi,dengan criteria hasil:
·
Bayi tidak sesak lagi
·
Nafas bayi teratur
(40-60x/menit)
·
Bayi dapat bernafas
dengan baik (40-60x/menit).
·
Nadi =100-120x/menit
|
1. Pemberian
O2 sesuai dengan kebutuhan bayi.
2. Rawat
bayi dalam ruangan yang tenang
3. Jaga
posisi bayi dengan kepala ekstensi
4. Auskultasi
suara nafas
5. Kalorasi
dalam pemberian ATS dan anti konvulsan
|
1. Meningkatkan
jumlah O2 sesuai dengan
kebutuhan bayi.
2. Untuk
memudahkan pengawasan bayi secara dini bila apnue.
3. Posisi
ekstensi dapat melunggarkan jalan nafas.
4. Untuk
mengetahui suara nafas apa ada ada sekret atau tidak.
5. Untuk
menetralisir toksin yang berada dalam
darah untuk merelaksasikan otot serta kepekaan jaringan saraf terhadap
rangsanga.
|
2.
|
Gangguan suhu tubuh berhubungan dengan proses
infeksi tali pusat yang ditandai dengan peningkatan suhu tubuh (38,7 0C)
|
Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama
3x24 jam, peningkatan suhu tubuh dapat teratasi dengan criteria:
·
Suhu tubuh bayi
normal kembali (36-370C)
·
Tali pusat dalam
keadaan kering.
|
1. Observasi
suhu tubuh bayi setiap 30 menit.
2. Beri
kompres hangat.
3. Beri
minuman sedikit demi sedikit tapi sering.
4. Kolaborasi
dalam pemberian antipiretik sesuai anjuran.
5. Beri
cairan parenteral sesuai kebutuhan.
|
1. Agar dapat mengetahui kondisi secara umum.
2. Dengan
memberikan kompres hangat maka panas tubuh bayi akan pindah secara konduksi.
3. Dengan
memberi bayi minum sedikit demi sedikit tapi sering maka panas tubuh bayi
dapat turun.
4. Anti
piretik akan bekerja dalam tubuh untuk menurunkan panas.
5. Anti
biotic dapat membunuh kuman yang masuk ke dalam tubuh.
6. Dengan
memberikan parenteral sesuai kebutuhan maka kebutuhan bayi terpenuhi.
7. Dengan
mengukur intake dan output maka dapat mengetahui jumlah cairan bayi.
|
3.
|
Gangguan pemenuhuan nutrisi berhubungan dengan
kesulitan menelan.
|
Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama
3x24 jam, gangguan pemenuhan nutrisi terpenuhi, dengan criteria hasil:
·
Berat badan meningkat
(BB 2,8 kg)
·
Kulit tidak kering
lagi.
·
Bayi tidak muntah
lagi.
·
Daya hisap bayi
bagus.
|
1. Beri
ASI dengan menggunakan sendok/ pipet.
2. Timbang
berat badan bayi.
|
1. Dengan
memberikan ASI menggunakan sendok/ pipet kebutuhan nutria bayi terpenuhi
2. Dapat
memantau keadaan umum bayi.
|
BAB
IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Tetanus neonatorum adalah penyakit
toksomia akut yang disebabkan oleh clostridium tetani yang bersifat anaerob dan
mengeluarkan eksotoksin yang neurotropik. Penyebab tetanus neonatorum ini
disebabkan oleh clostridium tetani yang terdapat ditanah, saluran pencernaan
manusia dan hewan.
Gambaran klinis tetanus neonatorum
yaitu: masa inkubasi 3-10 hari, gejala
awal kesulitan menyusu atau menetek, mulut mencucu seperti ikan, terjadi spasme
otot dan kejang umum, dinding abdomen dan leher kaku, suhu meningkat, dan bayi
menangis serta gelisah.
Tetanus neonatorum dapat
menimbulkan komplikasi jika tidak segera ditangani, komplikasi tersebut antara
lain: Bronkhopneumonia, Asfiksia, sepsis neunatorum, dan fraktur kompresi.
B. SARAN
Diharapkan kepada pembaca khususnya
mahasiswa/i STIKES TMS Bengkulu dapat menambah wawasan dan pengetahuan serta
dapat memahami konsep dasar teori beserta Asuhan keperawatan dari tenanus
neonatorum.
No comments:
Post a Comment