BAB I
PENDAHULUAB
1.1.
LATAR BELAKANG
Penyakit Atresia ani adalah tidak terjadinya
perforasi membrane yang memisahkan bagian entoderm mengakibatkan pembentukan
lubang anus yang tidak berhubungan langsung dengan rectum (sumber Purwanto,
2001 RSCM)
Atresiani termasuk kelainan
kongeniatal yang cukup sering dijumpai, menunjukkan suatu keadaan tanpa anus
atau dengan anus yang tidak sempurna. Frekuensi seluruh kelainan kongenital
anorektal didapatkan 1 dari tiap 5000-10000 kelahiran, sedangkan atresiani
didapatkan 1 % dari seluruh kelainan kongenital pada neonatus Frekuensi paling
tinggi didapatkan pada ras kaukasia dan kulit berwarna, sedangkan pada negro
bantu frekuensi paling rendah .
Secara embriologis atresiani terjadi
akibat gangguan perkembangan pada minggu 4-6 kehamilan, dimana terjadi gangguan
pertumbuhan septum urorectal yang menyebabkan yang menyebabkan kelainan
atresiani letak tinggi, dan gangguan perkembangan proktodeum dengan lipatan
genital yang menyebabkan letak atreasiani letak rendah. Pada letak tinggi otot
levatorani pertumbuhannya abnormal, sedang otot sefingterani eksterna dan
interna dapat tidak ada atau rudimenter.
Waktu penanganan Atresia ani tergantung pada
jenis atresia ani, semakin tidak ada anus maka penanganan atresi ani semakin
cepat dan segera mungkin, penanganan pasien atresia ani membutuhkan waktu yang
lama karena operasi yang dilakukan untuk pasien atresia ani > 2 kali,
operasi pembentukan coloctomi, PSA dan penutupan colostomi. Sehingga dalam
penanganannya membutuhkan perawatan pra dan post colostomi.
Dalam merawat pasien pra dan post colostomy
membutuhkan ketelitian kebersihan dan kesiapan yang baik karena jika tidak maka
akan menimbulkan komplikasi infeksi yang mengakibatkan penyembuhan menjadi lama
bahkan bertambah parah.
Mengingat begitu besar peran dan fungsi perawat
dalam merawat pasien Atresia ani baik pre dan post operasi. Kelompok merasa
tertarik untuk membahas asuhan keperawatan pada pasien dengan Atresia Ani
dengan harapan bahasan ini akan lebih meningkatkan pengetahuan penulis dan
pembaca
1.2.
TUJUAN
a. Tujuan Umum
Untuk mengetahui tinjauan teoritis
dan asuhan keperawatan teoritis pada pasien dengan atresia ani
b. Tujuan khusus
-
untuk
mengetahui tinjauan teoritis pada paisen dengan atresia ani yag meliputi
definisi, etiologi, klasifikasi, patofisiologi, manifestasi klinis, WOC,
pemeriklsaan penunjang dan penatalaksanaan
-
untuk
mengetahui asuhan keperawatan teoritis pada pasien dengan atresia ani yang
meliputi, pengkajian, analisa data, diagnosa keperawatan, dan intervensi
keperawtan teoritis.
1.3.
MANFAAT
-
menambah
pengetahuan dan keterampilan kelompok dalam menerapkan asuhan keperawatan pada
pasien dengan atresia ani
-
menambah
pengetahuan dan wawasan pembaca
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1
DEFINISI
Istilah atresia
berasal dari bahasa Yunani yaitu “a” yang berarti tidak ada dan trepsis yang
berarti makanan atau nutrisi. Dalam istilah kedokteran, atresia adalah suatu
keadaan tidak adanya atau tertutupnya lubang badan normal.
Atresia ani
adalah malformasi congenital dimana rectum tidak mempunyai lubang keluar
(Walley,1996)
Atresia ani atau
anus imperforate adalah tidak terjadinya perforasi membran yang memisahkan
bagian entoderm mengakibatkan pembentukan lubang anus yang tidak sempurna. Anus
tampak rata atau sedikit cekung ke dalam atau kadang berbentuk anus namun tidak
berhubungan langsung dengan rectum. (sumber Purwanto. 2001 RSCM).
Atresia Ani
merupakan kelainan bawaan (kongenital), tidak adanya lubang atau saluran anus
(Donna L. Wong, 520 : 2003).
2.2
ETIOLOGI
Etiologi secara
pasti atresia ani belum diketahui, namun ada sumber mengatakan kelainan bawaan
anus disebabkan oleh gangguan pertumbuhan, fusi, dan pembentukan anus dari
tonjolan embriogenik. Pada kelainan bawaan anus umumnya tidak ada kelainan
rectum, sfingter, dan otot dasar panggul. Namun demikian pada agenesis anus,
sfingter internal mungkin tidak memadai. Menurut peneletian beberapa ahli masih
jarang terjadi bahwa gen autosomal resesif yang menjadi penyebab atresia ani.
Orang tua yang
mempunyai gen carrier penyakit ini mempunyai peluang sekitar 25% untuk
diturunkan pada anaknya saat kehamilan. 30% anak yang mempunyai sindrom
genetic, kelainan kromosom atau kelainan congenital lain juga beresiko untuk
menderita atresia ani. Sedangkan kelainan bawaan rectum terjadi karena gangguan
pemisahan kloaka menjadi rectum dan sinus urogenital sehingga biasanya disertai
dengan gangguan perkembangan septum urorektal yang memisahkannya.
Atresia anorectal terjadi karena ketidaksempurnaan dalam proses pemisahan.
Secara embriologis hindgut dari apparatus genitourinarius yang terletak di
depannya atau mekanisme pemisahan struktur yang melakukan penetrasi sampai
perineum. Pada atresia letak tinggi atau supra levator, septum urorectal turun
secara tidak sempurna atau berhenti pada suatu tempat jalan penurunannya.
Atresia dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
1. Putusnya
saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur sehingga bayi lahir tanpa
lubang dubur
2. Kegagalan pertumbuhan saat bayi
dalam kandungan berusia 7 minggu Adanya
gangguan atau berhentinya perkebangan embriologik di daerah usus, rektum bagian
distal serta traktus urogenitalis, yang terjadi antara minggu keempat sampai
keenam usia kehamilan.
2.3 EMBRIOLOGI
Secara embriologis, saluran
pencernaan berasal dari Foregut, Midgut dan Hindgut. Forgut akan membentuk
faring, sistem pernafasan bagian bawah, esofagus, lambung sebagian duodenum,
hati dan sistem bilier serta pancreas. Mid gut membentuk usus halus,
sebagian duodenum, sekum, appendik, kolon ascenden sampai pertengahan kolon
transversum. Hindgut meluas dari midgut hingga ke membrana kloaka,
membrana ini tersusun dari endoderm kloaka, dan ectoderm dari protoderm /
analpit . Usus terbentuk mulai minggu keempat disebut sebagai primitif gut.
Kegagalan perkembangan yang lengkap dari septum urorektalis menghasilkan
anomali letak tinggi atau supra levator. Sedangkan anomali letak rendah atau
infra levator berasal dari defek perkembangan proktoderm dan lipatan genital.
Pada anomali letak tinggi, otot levator ani perkembangannya tidak normal.
Sedangkan otot sfingter eksternus dan internus dapat tidak ada atau rudimenter
.
Secara embriologis atresiani terjadi akibat gangguan
perkembangan pada minggu 4-7 kehamilan, dimana terjadi gangguan pertumbuhan
septum urorectal yang menyebabkan yang menyebabkan kelainan atresiani letak
tinggi, dan gangguan perkembangan proktodeum dengan lipatan genital yang
menyebabkan letak atreasiani letak rendah. Pada letak tinggi otot levatorani
pertumbuhannya abnormal, sedang otot sefingterani eksterna dan interna dapat
tidak ada atau rudimenter.
2.4 KLASIFIKASI
Secara fungsional, pasien atresia
ani dapat dibagi menjadi 2 kelompok besar yaitu
1. Yang tanpa anus tetapi dengan dekompresi
adequate traktus gastrointestinalis dicapai melalui saluran fistula
eksterna.Kelompok ini terutma melibatkan bayi perempuan dengan fistula
rectovagina atau rectofourchette yang relatif besar, dimana fistula ini sering
dengan bantuan dilatasi, maka bisa didapatkan dekompresi usus yang adequate
sementara waktu.
2.
Yang
tanpa anus dan tanpa fistula traktus yang tidak adequate untuk jalam keluar
tinja.Pada kelompok ini tidak ada mekanisme apapun untuk menghasilkan
dekompresi spontan kolon, memerlukan beberapa bentuk intervensi bedah segera.
Pasien bisa diklasifikasikan lebih lanjut menjadi 3 sub kelompok anatomi yaitu
:
1. Anomali rendah
Rectum mempunyai jalur desenden normal melalui otot
puborectalis, terdapat sfingter internal dan eksternal yang berkembang baik
dengan fungsi normal dan tidak terdapat hubungan dengan saluran
genitourinarius.
2. Anomali intermediet
Rectum berada pada atau di bawah tingkat otot puborectalis;
lesung anal dan sfingter eksternal berada pada posisi yang normal.
3. Anomali tinggi
Ujung rectum di atas otot puborectalis dan sfingter
internal tidak ada. Hal ini biasanya berhungan dengan fistuls genitourinarius –
retrouretral (pria) atau rectovagina (perempuan). Jarak antara ujung buntu
rectum sampai kulit perineum lebih dari 1 cm.
2.5 PATOFISIOLOGI
Atresia ani atau
anus imperforate dapat disebabkan karena :
1. Kelainan ini
terjadi karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara komplit karena
gangguan pertumbuhan, fusi atau pembentukan anus dari tonjolan embrionik
2. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah
dubur, sehingga bayi lahir tanpa lubang dubur
3. Gangguan organogenesis dalam kandungan penyebab
atresia ani, karena ada kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia
12 minggu atau tiga bulan
4. Berkaitan dengan sindrom down
5. Atresia ani adalah suatu kelainan bawaan
Atresia ani yang
terjadi akibat kegagalan penurunan septum anorektal pada kehidupan embrional.
Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstruksi dan adanya fistula. Obstruksi
ini mengakibatkan distensi abdomen, sekuestrasi cairan, muntah dengan segala
akibatnya. Apabila urin mengalir melalui fistel menuju rektum, maka urin akan
diabsorbsi sehingga terjadi asidosis hiperchloremia, sebaliknya fese mengalir
kearah traktus urinarius menyebabkan infeksi berulang. Pada keadaan ini
biasanya akan terbentuk fistula antara rectum dengan organ sekitarnya.
Atresia Ani ini
mempunyai 3 macam letak, yaitu :
1. Tinggi (supralevator) yaitu,
rektum berakhir di atas M.Levator ani (m.puborektalis) dengan jarak antara
ujung buntu rectum dengan kulit perineum >1 cm. letak supralevator biasanya
disertai dengan fistel ke saluran kencing atau saluran genital
2. Intermediate. Dimana kelainan
ini mempunyai ciri rectum terletak pada m.levator ani tapi tidak menembusnya
3. Rendah yaitu, rectum berakhir
di bawah m.levator ani sehingga jarak antara kulit dan ujung rectum paling jauh
1 cm.
Pada wanita 90%
dengan fistula ke vagina (rektovagina) atau perineum (rektovestibuler). Pada
laki2 biasanya letak tinggi , umumnya fistula menuju ke vesika urinaria atau ke
prostate. (rektovesika) . pada letak rendah fistula menuju ke urethra
(rektourethralis).
2.7 MANIFESTASI
KLINIS
Manifestasi klinis
yang terjadi pada atresia ani adalah kegagalan lewatnya mekonium setelah bayi
lahir, tidak ada atau stenosis kanal rectal, adanya membran anal dan fistula
eksternal pada perineum (Suriadi,2001). Gejala lain yang nampak diketahui
adalah jika bayi tidak dapat buang air besar sampai 24 jam setelah lahir,
gangguan intestinal, pembesaran abdomen, pembuluh darah di kulir abdomen akan
terlihat menonjol (Adele,1996)
Bayi muntah – muntah
pada usia 24 – 48 jam setelah lahir juga merupakan salah satu manifestasi
klinis atresia ani. Cairan muntahan akan dapat berwarna hijau karena cairan
empedu atau juga berwarna hitam kehijauan karena cairan mekonium.
2.8 PEMERIKSAAN
PENUNJANG
Untuk memperkuat
diagnosis sering diperlukan pemeriksaan penunjang sebagai berikut :
a.Pemeriksaan radiologist
Dilakukan untuk mengetahui ada
tidaknya obstruksi intestinal.
b.Sinar X terhadap abdomen
Dilakukan untuk menentukan kejelasan
keseluruhan bowel dan untuk mengetahui jarak pemanjangan kantung rectum dari
sfingternya.
c.Ultrasound terhadap abdomen
Digunakan untuk
melihat fungsi organ internal terutama dalam system pencernaan dan mencari
adanya faktor reversible seperti obstruksi oleh karena massa tumor.
d.CT Scan
Digunakan untuk
menentukan lesi.
e. Pyelografi intra
vena
Digunakan untuk
menilai pelviokalises dan ureter.
f. Pemeriksaan
fisik rectum
Kepatenan rectal
dapat dilakukan colok dubur dengan menggunakan selang atau jari.
g. Rontgenogram
abdomen dan pelvis
Juga bisa digunakan
untuk mengkonfirmasi adanya fistula yang berhubungan dengan traktus urinarius.
2.9 PENATALAKSANAAN
Medik:
1. Eksisi membran anal
1. Eksisi membran anal
2.
Fistula, yaitu dengan melakukan
kolostomi sememtara dan setelah umur 3 bulan dilakukan koreksi sekaligus
Keperawatan:
Kepada
orang tua perlu diberitahukan mengenai kelainan pada anaknya dan keadaan
tersebut dapat diperbaiki dengan jalan operasi. Operasi akan dilakukan 2 tahap
yaitu tahap pertama hanya dibuatkan anus buatan dan setelah umur 3 bulan dilakukan
operasi tahapan ke 2, selain itu perlu diberitahukan perawatan anus buatan
dalam menjaga kebersihan untuk mencegah infeksi. Serta memperhatikan kesehatan
bayi.
2.10
PROGNOSIS
Kelainan
anorektal letak rendah biasanya dapat diperbaiki dengan pembedahan melalui
perineum dan prognosis baik untuk kontinensia fekal. Sedangkan kelainan
anorektal letak tinggi diperbaiki dengan pembedahan sakroperineal atau
abdominoperineal, pada kelainan ini sfingterani eksternus tidak memadai dan
tidak ada sfingter ani internus, maka kontinensia fekal tergantung fungsi otot
puborektalis (DeLorimer 1981 ; Iwai et al 1988).
Ong dan Beasley
(1990) mendapatkan perjalanan klinis jangka panjang dari kelainan anorektal
letak rendah yang dilakukan operasi perineal lebih dari 90% penderita mencapai
kontrol anorektal yang secara sosial dapat diterima. Insidensi “soiling” pada
penderita umur lebih 10 tahun lebih rendah dari penderita yang lebih muda.
Insidensi “Smearing” atau Stainning” tidak mengurang dengan bertambahnya usia.
Pada kelainan anorektal letak tinggi hasilnya hanya 1/3 yang benar-benar bagus,
2/3 lagi dapat mengontrol kontinensia fekal.
Pada wanita
hasilnya lebih baik daripada laki-laki karena pada wanita lesi seringkali
intermediet. Kebanyakan lesi supralevator dengan tindakan PSARP dapat
dikerjakan melalui perineum tanpa membuka abdomen (Smith, 1990). Beberapa
penderita dengan kelainan anorektal letak tinggi mempunyai masalah-masalah
kontinensia bila dilakukan pembedahan dibanding letak rendah
2.11
KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada
penderita atresia ani antara lain :
a. Asidosis hiperkioremia.
b. Infeksi saluran kemih yang bisa
berkepanjangan.
c. Kerusakan uretra (akibat prosedur bedah).
d. Komplikasi jangka panjang.
- Eversi mukosa anal
- Stenosis (akibat kontriksi jaringan perut
dianastomosis)
e. Masalah atau kelambatan yang berhubungan
dengan toilet training.
f. Inkontinensia (akibat stenosis awal atau
impaksi)
g. Prolaps mukosa anorektal.
h. Fistula kambuan (karena ketegangan diare
pembedahan dan infeksi)
(Ngastiyah, 1997 : 248)
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS
3.1
PENGKAJIAN
Diperlukan
pengkajian yang cermat dan teliti untuk mengetahui masalah pasien dengan tepat,
sebab pengkajian merupakan awal dari proses keperawatan. Dan keberhasilan
proses keperawatan tergantung dari pengkajian. Konsep teori yang difunakan
penulis adalah model konseptual keperawatan dari Gordon. Menurut Gordon data
dapat dikelompokkan menjadi 11 konsep yang meliputi :
1. Persepsi Kesehatan – Pola Manajemen Kesehatan
Mengkaji kemampuan pasien dan keluarga
melanjutkan perawatan di rumah.
2. Pola nutrisi – Metabolik
Anoreksia, penurunan BB dan malnutrisi
umum terjadi pada pasien dengan atresia ani post kolostomi. Keinginan pasien
untuk makan mungkin terganggu oleh mual dan munta dampak dari anestesi.
3. Pola Eliminasi
Dengan pengeluaran melalui saluran
kencing, usus, kulit dan paru maka tubuh dibersihkan dari bahan - bahan yang
melebihi kebutuhan dan dari produk buangan. Oleh karena pada atresia ani tidak
terdapatnya lubang pada anus, sehingga pasien akan mengalami kesulitan dalam
defekasi (Whaley & Wong,1996).
4. Pola Aktivitas dan Latihan
Pola latihan dan aktivitas
dipertahankan untuk menhindari kelemahan otot.
5. Pola Persepsi Kognitif
Menjelaskan tentang fungsi penglihatan,
pendengaran, penciuman, daya ingatan masa lalu dan ketanggapan dalam menjawab
pertanyaan.
6. Pola Tidur dan Istirahat
Pada pasien mungkin pola istirahat dan
tidur terganggu karena nyeri pada luka insisi.
7. Konsep Diri dan Persepsi Diri
Menjelaskan konsep diri dan persepsi
diri misalnya body image, body comfort. Terjadi perilaku distraksi, gelisah,
penolakan karena dampak luka jahitan operasi (Doenges,1993).
8. Peran dan Pola Hubungan
Bertujuan untuk mengetahui peran dan
hubungan sebelum dan sesudah sakit. Perubahan pola biasa dalam tanggungjawab
atau perubahan kapasitas fisik untuk melaksanakan peran (Doenges,1993).
9. Pola Reproduktif dan Sexual
Pola ini bertujuan menjelaskan fungsi
sosial sebagi alat reproduksi (Doenges,1993).
10. Pola Pertahanan Diri, Stress dan Toleransi
Adanya faktor stress lama, efek
hospitalisasi, masalah keuangan, rumah (Doenges,1993).
11. Pola Keyakinan dan Nilai
Untuk menerangkan sikap, keyakinan
klien dalam melaksanakan agama yang dipeluk dan konsekuensinya dalam
keseharian. Dengan ini diharapkan perawat dalam memberikan motivasi dan
pendekatan terhadap klien dalam upaya pelaksanaan ibadah (Mediana,1998).
12. Pemeriksaan Fisik
Hasil pemeriksaan
fisik yang didapatkan pada pasien atresia ani adalah anus tampak merah, usus
melebar, kadang – kadang tampak ileus obstruksi, termometer yang dimasukkan
melalui anus tertahan oleh jaringan, pada auskultasi terdengan
hiperperistaltik, tanpa mekonium dalam 24 jam setelah bayi lahir, tinja dalam
urin dan vagina (FKUI, Ilmu Kesehatan Anak:1985).
Pemeriksaan Fisik
1.Tanda-tanda vital
• Nadi : 110 X/menit.
• Respirasi : 32 X/menit.
• Suhu axila :37º Celsius.
2. Kepala
Kepala simetris, tidak ada luka/lesi, kulit kepala bersih, tidak ada benjolan/tumor, tidak ada caput succedanium, tidak ada chepal hematom.
3. Mata
Simetris, tidak konjungtifistis, tidak ada perdarahan subkonjungtiva, tidak ikterus, tidak nistagamus/ tidak episnatus, conjungtiva tampak agak pucat.
4. Hidung
Simetris, bersih, tidak ada luka, tidak ada secret, tidak ada pernafasan cuping hidung, tidak ada pus dan lendir.
5. Mulut
Bibir simetris, tidak macrognatia, micrognatia, tidak macroglosus, tidak cheilochisis.
6. Telinga
Memiliki 2 telinga yang simetris dan matur tulang kartilago berbentuk sempurna.
7. Leher
Tidak ada webbed neck.
8. Thorak
Bentuk dada simetris, silindris, tidak pigeon chest, tidak funnel shest, pernafasan normal
9. Jantung
Tidak ada mur-mur, frekuensi jantung teratur
10. Abdomen
Simetris, teraba lien, teraba hepar, teraba ginjal, tidak termasa/tumor, tidak terdapat perdarahan pada umbilikus
11. Getalia
Terdapat lubang uretra, tidak ada epispandia pada penis tidak ada hipospandia pada penis, tidak ada hernia sorotalis.
12. Anus
Tidak terdapat anus, anus nampak merah, usus melebar, kadang-kadang tampak ileus obstruksi. Thermometer yang dimasukan kedalam anus tertahan oleh jaringan. Pada auskultasi terdengar peristaltic.
• Respirasi : 32 X/menit.
• Suhu axila :37º Celsius.
2. Kepala
Kepala simetris, tidak ada luka/lesi, kulit kepala bersih, tidak ada benjolan/tumor, tidak ada caput succedanium, tidak ada chepal hematom.
3. Mata
Simetris, tidak konjungtifistis, tidak ada perdarahan subkonjungtiva, tidak ikterus, tidak nistagamus/ tidak episnatus, conjungtiva tampak agak pucat.
4. Hidung
Simetris, bersih, tidak ada luka, tidak ada secret, tidak ada pernafasan cuping hidung, tidak ada pus dan lendir.
5. Mulut
Bibir simetris, tidak macrognatia, micrognatia, tidak macroglosus, tidak cheilochisis.
6. Telinga
Memiliki 2 telinga yang simetris dan matur tulang kartilago berbentuk sempurna.
7. Leher
Tidak ada webbed neck.
8. Thorak
Bentuk dada simetris, silindris, tidak pigeon chest, tidak funnel shest, pernafasan normal
9. Jantung
Tidak ada mur-mur, frekuensi jantung teratur
10. Abdomen
Simetris, teraba lien, teraba hepar, teraba ginjal, tidak termasa/tumor, tidak terdapat perdarahan pada umbilikus
11. Getalia
Terdapat lubang uretra, tidak ada epispandia pada penis tidak ada hipospandia pada penis, tidak ada hernia sorotalis.
12. Anus
Tidak terdapat anus, anus nampak merah, usus melebar, kadang-kadang tampak ileus obstruksi. Thermometer yang dimasukan kedalam anus tertahan oleh jaringan. Pada auskultasi terdengar peristaltic.
13. Ektrimitas atas dan bawah
Simetris, tidak fraktur, jumlah jari lengkap, telapak tangan maupun kaki dan kukunya tampak agak pucat
14. Punggung
Tidak ada penonjolan spina gifida
15. Pemeriksaan Reflek
a. Suching +
b. Rooting +
c. Moro +
d. Grip +
e. Plantar +
3.2
ANALISA DATA
No
|
Data Senjang
|
Patofisiologi
|
Masalah Keperawatan
|
|||
1
|
DO: - pasien mual/muntah setiap 15 menit
setelah pemberian makan
-BB pasien turun 0,5 kg(dari 3kg menjadi
2,5Kg)
-pasien menangis, kadang-kadang menolak untuk
makan
|
Atresia
ani
Intake
Masuk system pencernaan
Ujung
rectum buntu
Refluks/muntah
Kegagalan
intake
Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
|
Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
|
|||
2
|
DO:
-pasien tidak mampu mengontrol rasa ingin BAB
-pasien tidak dapat menahan BAB
|
Fistula
Abnormal
Rektovaginal
Rektourinaria
Kolostomi
Inkonten bowel tak efektif
|
Inkontinen bowel tidak efektif fungsi
eksretorik
|
|||
3
|
DO:
- keluarga terlihat cemas
-
keluarga
pasien sedih
|
Kolostomi
Inkontinuitas jaringan
Terkontaminasi
Agen mikroorganisme
Infeksi berulang
Kecemasan keluarga
|
Kecemasan keluarga
|
|||
4
|
DO:
-RR: 16x/menit
-pasien terlihat sesak
-pasien sianosis
-pasien bernapas menggunakan otot Bantu
pernapasan
|
Atresia
ani
Tanpa
fistula
Distensi
abdomen
Penekanan
paru
pola napas tidak efektif
|
pola napas tidak efektif
|
|||
5
|
DO:
|
Tindakan pembedahan
Kolostomi
Resiko infeksi
|
Resiko infeksi
|
|||
6
|
DO:
|
Tindakan pembedahan
Kolostomi
Gangguan integritas kulit
|
Gangguan integritas kulit
|
|||
7.
|
DO:
|
Tindakan pembedahan
Kolostomi
Gangguan citra tubuh
|
Gangguan citra diri
|
|||
8
|
DO:
|
Obstruksi kronik
Gerakan peristaltik usus
Megakolon
Trauma jaringan
Nyeri
|
Gangguan rasa nyaman nyeri
|
|||
9.
|
DO:
|
Kolostomi
Inkontinuitas jaringan
Terkontaminasi
Agen mikroorganisme
Infeksi berulang
Kurang pengetahuan
|
Kurangnya pengetahuan keluarga
|
3.3
DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan pre operasi :
1. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan anoreksia
2. Inkontinen bowel tidak efektif fungsi eksretorik
berhubungan dengan tidak lengkapnya pembentukan anus
3. pola napas tidak efektif berhubungan dengan penekanan
paru
4. Kecemasan keluarga berhubungan dengan kondisi
bayi
Diagnosa keperawatan post operasi
1. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur
pembedahan
2. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan
kolostomi
3. Gangguan citra diri berhubungan dengan adanya
kolostomi
4. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan
trauma saraf jaringan
5. Kurangnya pengetahuan keluarga berhubungan
dengan kebutuhan perawatan di rumah
3.4
INTERVENSI KEPERAWATAN
no
|
Diagnosa
|
Tujuan
|
Criteria hasil
|
Intervensi
|
Rasional
|
1
|
Perubahan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia
|
Setelah dilakukan intervensi keperawtan 3x24
jam diharapakan nutrisi pasien dapat terpenuhi
|
-BB pasien stabil
-pasien tidak muntah
-Intake cairan terpenuhi
-
|
-Pantau
masukan/ pengeluaran makanan / cairan.
Kaji
kesukaan makanan anak.
Beri makan
sedikit tapi sering.
Pantau berat
badan secara periodik.
Libatkan
orang tua, misal membawa makanan dari rumah, membujuk anak untuk makan.
Beri
perawatan mulut sebelum makan.
Berikan
isirahat yang adekuat.
Pemberian
nutrisi secara parenteral, untuk mempertahankan kebutuhan kalori sesuai
program diit.
|
-untuk mengukur intake dan output pasien
sehingga kebutuhan nutrisi pasien dapat ditentukan
-makanan kesukaan pasien dapat diberikan
sehingga menambah masukan nutrisi bagi pasien
-untuk mencegah mual/muntah
-BB dapat menjadi salah satu ukuran
antropometrik dalam pemenuhan nutrisi pasien
-orang tua merupakan bagian terpenting dalam
hidup anak dan biasanya anak lebih percaya kepada orang tua dan cenderung
menurut.
-mulut yang bersih dapat menambah napsu makan
pasien
Pasien membutuhkan istirahat yang cukup untuk
mempercepat proses penyembuhan
-jika kebutuhan nutrisi belum terpenuhi dapat
dibantu melalui parenteral
|
2
|
Resiko
infeksi berhubungan dengan prosedur pembedahan
|
Setelah dilakukan intervensi keperawatan 3x24
jam diharapkan tidak terjadi infeksi l.
|
tidak ada tanda–tanda infeksi
-TTV normal
Nadi : 110 X/menit.
RR:32 X/menit.
S:36,5oC
-lekosit normal
|
-Pertahankan
teknik septik dan aseptik secaa ketat pada prosedur medis atau perawatan
-Amati
lokasi invasif terhadap tanda-tanda infeksi.
Pantau suhu
tubuh, jumlah sel darah putih.
Pantau dan
batasi pengunjung , beri isolasi jika memungkinkan.
Beri
antibiotik sesuai advis dokter.
|
-mencegah terjadinya infeksi karena setelah
pembedahan, kulit terbuka dan dapat terkontaminasi oleh mikroorganisme
-lokasi yang mempunyai tanda-tanda radang
perlu diwaspadai dan diperketat perawatannya
--suhu yang tinggi merupakan salah satu tanda
terjadinya infeksi, hal tersebut perlu diwaspada
-pengunjung yang datang mempunyai kemungkinan
membawa mokroorganisme berbahaya
-antibiotik sesuai indikasi dapat diberikan
untuk mencegah terjadinya infeksi
|
3
|
Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan
trauma saraf
|
Setelah dilakukan intervensi keperawatan
selama 3x24 jam nyeri pasien dapat terkontrol
|
-pasien akan melaporkan nyeri hilang atau
terkontrol,
-pasien akan tampak rileks,
-ekspresi wajah pasien relaks,
-TTV normal
Nadi:110 X/menit.
RR:32 X/menit.
S:36,5oC
|
-Tanyakan
pada pasien tentang nyeri.
Catat
kemungkinan penyebab nyeri.
Anjurkan
pemakaian obat dengan benar untuk mengontrol nyeri.
Ajarkan dan
anjurkan tehnik relaksasi.
|
-mengetahui persepsi pasien tentang nyeri yang
dialaminya
-jika penyebab diketahui maka untuk mengatasi
nyeri dapat diminimalkan penyebab nyeri tersebut
-obat yang diberikan untuk mengontrol nyeri
dapat diberikan untuk mengontrol atau menghilangkan nyeri
-tekhnik relaksasi dapat mengalihkan perhatian
pasien tentang nyerinya
|
BAB IV
PENUTUP
4.1
KESIMPULAN
Istilah atresia
berasal dari bahasa Yunani yaitu “a” yang berarti tidak ada dan trepsis yang
berarti makanan atau nutrisi. Dalam istilah kedokteran, atresia adalah suatu
keadaan tidak adanya atau tertutupnya lubang badan normal.
Etiologi secara
pasti atresia ani belum diketahui, namun ada sumber mengatakan kelainan bawaan
anus disebabkan oleh gangguan pertumbuhan, fusi, dan pembentukan anus dari
tonjolan embriogenik. Pada kelainan bawaan anus umumnya tidak ada kelainan
rectum, sfingter, dan otot dasar panggul
Manifestasi
klinis yang terjadi pada atresia ani adalah kegagalan lewatnya mekonium setelah
bayi lahir, tidak ada atau stenosis kanal rectal, adanya membran anal dan
fistula eksternal pada perineum
Diagnosa keperawatan
yang mungkin muncul adalah
Diagnosa keperawatan pre operasi :
§ Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan anoreksia
·
Inkontinen
bowel tidak efektif fungsi eksretorik berhubungan dengan tidak lengkapnya
pembentukan anus
·
pola napas
tidak efektif berhubungan dengan penumpukkan secret berlebih
·
Kecemasan
keluarga berhubungan dengan kondisi bayi
Diagnosa keperawatan post operasi
·
Resiko
infeksi berhubungan dengan prosedur pembedahan
·
Gangguan
integritas kulit berhubungan dengan kolostomi
·
Gangguan
citra diri berhubungan dengan adanya kolostomi
·
Gangguan
rasa nyaman nyeri berhubungan dengan trauma saraf jaringan
·
Kurangnya
pengetahuan keluarga berhubungan dengan kebutuhan perawatan di rumah
4.2
SARAN
Bagi masyarakat
yang mempunyai bayi yang kesulitan buang air besar sejak lahir segera diperiksa
ke petugas kesehatan untuk mendapatkan tindakan pengobatan lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA
-
Daengaoes, Maryllin E.1999. Rencana
asuhan keperawatan. Jakarta
: EGC
-
Ngastiyah.1995. perawatan anak sakit
. Jakarta :EGC
-
Syamsuhidajat, R. 2004.Buku ajar Ilmu
bedah. Jakatra:EGC
-
Wong, Dona L. 2004. pedoman klinis
keperawatan pediatric. Jakatra : EGC
- www. Bedah Anak . Atresia Ani dengan
Fistula Rektovestibularis.co.id
-
http://bedahugm.net/Bedah-Anak/Atresia-Ani.html
Thanks for your information. Please accept my comments to still connect with your blog. And we can exchange backlinks if you need.
ReplyDeleteWhat Is Albinism?
What Is Acanthosis Nigricans?
What Is Agoraphobia?
What Is ADHD?
What Is Atresia Ani?